Hilirisasi, Penciptaan Nilai Tambah, dan Pertumbuhan Ekonomi

Hilarisasi merupakan topik yang menarik untuk didiskusikan (lagi). Pertama, tren transisi energi membuka kesempatan bagi banyak negara, termasuk Indonesia, untuk menjadi negara pelopor bukan follower dari siklus industri untuk meningkatkan nilai tambah dengan memanfaatkan sebagai negara yang memiliki sumber daya alam.

Kedua, bagi Indonesia, kesempatan ini untuk membalikkan tren deindustrialisasi yang terjadi sejak tahun 2000. Ketiga, perang dagang Amerika Serikat-Cina yang terjadi dewasa ini telah mendorong friendshoring atau reshoring.

Hal ini membuka peluang bagi Indonesia mengambil kesempatan berpartisipasi sebagai “negara netral” dalam bentuk baru global supply chain. Indonesia dapat bersikap sebagai negara opportunistic dengan memanfaatkan peluang kerja sama dari kedua pihak yang bertikai.

Namun demikian, timbul pertanyaan apakah upgrading dari suatu value chain dalam bentuk proses hilirisasi akan selalu memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kesejahteraan atau pertumbuhan ekonomi suatu negara? Tidak selalu (Patunru, 2015).

Kedua, secara empiris Prospera (2022) dalam kasus pengembangan kawasan industri pengolahan nikel di Morowali memberikan dampak yang mendua (ambiguous). Secara makro, dampaknya cenderung positif dalam peningkatan ekspor industri pengolahan nikel dan akselerasi pertumbuhan PDRB di kabupaten Morowali dan Provinsi Sulawesi Tenggara.[3]

Tetapi dampak “foreign exchange” ini tergolong minimal karena perusahaan pengolah biji nikel melakukan transfer kembali penerimaan devisa ke perusahaan induknya. Dengan kata lain, dalam perspektif neraca perdagangan akan terlihat positif tetapi dalam konteks neraca transaksi berjalan, surplusnya tergolong minimal.

Lebih jauh lagi efek “backward linkages” cenderung tidak menguntungkan. Penambang nikel (umumnya perusahaan lokal) tidak dapat menikmati kenaikan harga di pasar internasional karena ada larangan ekspor. Pasar nikel berubah menjadi pasar lokal di mana bargaining position industri lebih kuat sehingga menekan harga nikel di pasar lokal 30 % lebih rendah dibandingkan dari pasar internasional.

Secara teoritis, potensi nilai tambah dapat diperoleh dari dua sumber lainnya yaitu penerimaan pajak, royalti, dan pungutan lain oleh pemerintah dan penerimaan upah dan gaji dari pekerja. Yang terakhir karena industri pengolahan nikel ini tergolong padat modal sehingga nilai tambah dari tenaga kerja tergolong rendah.

Bagaimana dengan penerimaan pemerintah? Dari royalti dampaknya juga cenderung mendua. Harga jual nikel yang lebih rendah (dibandingkan pasar ekspor) menyebabkan penerimaan royalti menurun dibandingkan seandainya larangan ekspor tidak diberlakukan. Tetapi di lain pihak, larangan ini menghilangkan ekspor ilegal biji nikel yang marak terjadi menjelang penerapan larangan ekspor.

Secara empiris, resultan keduanya masih cenderung positif. Tambahan lagi, karena sebagian besar industri pengolahan nikel ini mendapatkan fasilitas tax holiday maka penerimaan pajak perusahaan cenderung rendah. Namun secara agregat, penerimaan pajak penghasilan masih meningkat pada 2021 dibandingkan sebelum kawasan Morowali dikembangkan.

Kawasan Industri Morowali (Katadata – Ihya Ulum Aldin)

Bagaimana Sebaiknya Mengevaluasi Proses Hilirisasi?

Penciptaan nilai tambah dalam suatu rantai nilai harus dilihat dalam konteks yang luas. Kegiatan penciptaan nilai tambah akan menimbulkan aktivitas di sisi hulu (downstream) atau backward linkages dan di sisi hilir (upstream) atau forward linkages. Proses penciptaan nilai tambah ini tidak hanya dalam suatu rantai kegiatan suatu sektor atau subsektor tetapi juga antar-sektor (misalnya sektor pertanian dan manufaktur, sektor manufaktur dan sektor jasa, atau melibatkan ketiga sektor tersebut).

Bahkah dengan hyper-spesialization dan globalization yang terjadi dewasa ini, proses penciptaan nilai tambah ini melibatkankan banyak negara. Yang terakhir ini dikenal dengan fenomena global supply chain.

Karena itu, idealnya evaluasi terhadap pemilihan kebijakan untuk meningkatkan nilai tambah harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang harus melihat apakah pilihan kebijakan ini layak secara ekonomis dalam jangka pendek maupun jangka panjang dan melihat dampak ekonomi secara luas.

Analisis ini pada akhirnya akan menjawab apakah proses upgrading ini akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan masyarakat) atau tidak? Lebih luas lagi, kadangkala analisis ini juga perlu dilengkapi dengan melihat dampaknya terhadap lingkungan hidup dan penurunan kemiskinan serta distribusi pendapatan.

Penggunaaan analisis biaya-manfaat ini pun memunculkan perdebatan karena perhitungan analisis ini didasarkan pada data masa lalu. Ekonom seperti Profesor Dani Rodrik dari Harvard atau Pemenang Nobel Ekonomi Profesor  Michael Spence dari Stern Business School NYU, percaya keunggulan komparatif tidak bersifat statik melainkan dinamis.  Artinya, keunggulan komparatif tidak bisa sekadar didasarkan pada sumber daya (endowment) yang dimiliki saat ini.

Halaman selanjutnya: Apa Saja Faktor Keberhasilan Program Hilirisasi

Faktor Keberhasilan Program Hilirisasi

Mengacu pengalaman negara Asia Timur – Jepang, Korea Selatan, dan Cina ekspansi industri manufaktur di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya berdasarkan sumber daya (endowment) yang dimiliki, tetapi melalui proses penciptaan basis sumber daya manusia yang terampil. Hal ini sejalan dengan pemikiran pemenang Nobel ekonomi lainnya, Profesor Paul Krugman (1994) yang berpendapat bahwa proses penciptaan nilai tambah seharusnya berasal dari inspirasi dan inovasi dan bukan dari kegiatan peras keringat (perspiration).

Yustin Yifu Lin – mantan Chief Economist Bank Dunia dari Cina – bersama Vandana Chandra dan Yan Wang dari Bank Dunia (2013) dalam “Leading Dragon Phenomenon: New Opportunities to Catch-Up in Low Income Countries” menunjukkan pembangunan ekonomi merupakan proses yang kontinyu dari industrial dan technological upgrading dan disertai oleh proses transformasi struktural.

Negara-negara yang sukses dalam proses penciptaan nilai tambah ini mengadopsi apa yang disebut dengan comparative advantage following (CAF) strategies. Strategi CAF pada dasarnya memanfaatkan keunggulan sebagai pengikut (late-comer advantage) seperti pola angsa terbang.

Banyak contoh sukses dan gagal dari pengikut pola angsa terbang ini. Jepang sukses mengadopsi pola angsa terbang dengan mereplikasi pola industri yang ditinggal oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Korea, Cina, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Vietnam sukses mengikuti pola angsa terbang dengan mengembangkan industri yang ditinggalkan oleh Jepang.

Sementara itu negara Amerika Latin dan Asia Selatan gagal dalam menerapkan pola angsa terbang karena mengadopsi apa yang disebut oleh Yustin Lin dkk sebagai comparative advantage defying (CAD) strategies. Strategi ini mengikuti paradigma strukturalis yang melakukan strategi substitusi impor yang sama dengan negara-negara industrialis.

Strategi ini harus dilakukan dengan mengandalkan pasar domestik yang sempit dan melalui proteksi perdagangan serta overvaluasi nilai tukar. Seperti halnya negara-negara Amerika Latin, negara-negara Asia Timur (Jepang, Korea, Cina dan negara-negara ASEAN) juga menerapkan strategi substitusi impor.

Yang membedakan antara kedua kelompok negara tersebut adalah negara-negara Asia Timur memastikan bahwa komoditas yang dipilih untuk diproteksi benar-benar memiliki keunggulan komparatif yang laten. Kombinasi antara strategi promosi ekspor dan substitusi impor terpilih memungkinkan negara-negara Asia Timur (yang dikenal juga dengan negara-negara industri baru) mempercepat pembangunan ekonominya untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dengan negara-negara industrial lama.     

Diop dan Laabidi (akan dipublikasikan)[4] dengan model teoritisnya mencoba melihat dampak proses upgrading dalam value chain terhadap pertumbuhan ekonomi. Inti dalam riset teoritisnya tersebut adalah pertama, dampak ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada dua kesimpulan penting dari studi teoritis ini. Kesimpulan pertama adalah memperkaya teori dan empiris hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonom.

Studi ini menunjukkan bahwa dampak ekspor (dari peningkatan nilai tambah ini) terhadap pertumbuhan ekonomi tidak selalu positif. Ekspor baru berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi jika pangsa nilai tambah dari input domestik terhadap nilai ekspor lebih besar dari rasio imported input sebagai persentase terhadap nilai ekspor.

Negara dengan “domestic content” dari ekspor yang rendah akan kesulitan untuk menggunakan ekspor sebagai “mesin pertumbuhan ekonomi”. Kecuali, negara tersebut dapat mendorong pertumbuhan volume ekspor yang “robust” dan persisten seperti yang dilakukan Cina lebih dari tiga dekade.

Kesimpulan ini membuka peluang untuk menjustifikasi program peningkatan nilai tambah (hilirisasi) dengan kondisi yang disebutkan dalam kesimpulan kedua studi ini yaitu jika ekosistem dari suatu rantai industri (industrial value chain) dapat terbentuk.

Belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti di Silicon Valley di California Amerika Serikat atau kawasan industri Guangzhou di Cina, penciptaan ekosistem rantai nilai ini akan lebih mudah melalui pembentukan aglomerasi industri. Aglomerasi industri ini merupakan solusi yang efisien dalam pembentukan pasar input domestik dan input antara. [5] 

Kesimpulan kedua ini memberikan implikasi bahwa terbentuk atau tersedianya ekosistem rantai nilai industri akan meningkatkan peluang dari program hilirisasi.

Di sektor pertanian pun, fenomena upgrading supply chain tidak banyak berbeda. Transformasi struktural telah mendorong perubahan dalam sisi permintaan.

Ada perubahan permintaan dengan peningkatan pendapatan per kapita yaitu perubahan komposisi permintaan makanan ke arah makanan dengan kandungan protein hewani dan meninggalkan makanan dengan kandungan karbohidrat. Pada saat yang sama konsumen makin cerewet dengan kualitas.

Perubahan ini menuntut modernisasi dalam setiap proses pada rantai penawaran ini. Kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dikelola secara tradisional memerlukan transformasi ke arah pengelolaan yang lebih modern. Perubahan ini akan mendorong proses penciptaan nilai tambah di mana sebagian besar dari nilai tambahnya akan terjadi di sektor jasa.

Satu lagi fenomena yang menarik dari proses hilirisasi ini juga terjadi di sektor jasa. Singapura, misalnya, mengembangkan diri menjadi trade hub yang terpercaya di dunia.  Untuk mencapai tujuan tersebut, Singapura membangun pelabuhan (transshipment) dan bandara yang efisien.

Bandara Changi Singapura (Pixabay/VacacionesPagodasBlog )

Singapura mengembangkan transshipment port dengan marjin yang sangat rendah, bukan untuk mencari keuntungan yang maksimum dari kegiatan pelabuhan. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan kegiatan-kegiatan jasa yang lebih tersier seperti perbankan, asuransi serta kegiatan-kegiatan lain yang menunjang industri maritim.

Jadi, walaupun gain yang diperoleh oleh Singapure tergolong kecil dari kegiatan pelabuhan (transhipment), tetapi mereka memperoleh nilai tambah yang besar dari berkembangnya asuransi perkapalan dan kegiatan yang terkait lainnya.

Begitu pula dengan justifikasi pengembangan bandara Changi yang megah dan efisien yang diutamakan untuk mendukung agar Singapura dapat menjadi financial hub yang terpercaya secara regional maupun global. Pelajaran dari kasus ini menunjukkan bahwa seringkali nilai tambah yang dihasilkan bukan dari industri basisnya melainkan dari backward atau forward linkages-nya.     

Halaman selanjutnya: Pelajaran Apa yang Bisa Kita Petik dari Hilirisasi yang Gagal?

Pelajaran Apa yang Bisa Kita Petik dari Pengalaman Empiris?

Pertama, memiliki kekayaan alam tidak menjamin program hilirisasi berhasil. Pelajaran sejarah menunjukkan bahwa banyak negara yang memiliki SDA yang melimpah yang gagal seperi kelompok negara Amerika Latin. Di lain pihak, negara Asia Timur yang miskin SDA justru berhasil dalam mengembangkan industri hulu hingga hilir.

Seperti yang ditunjukkan oleh World Bank dalam World Development Report 2020 dalam kasus keberhasilan partisipasi suatu negara dalam Global Value Chain – yang kita bisa gunakan dalam menilai determinan keberhasilan program hilirisasi – adalah kombinasi antara tersedianya factor endowments baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, besarnya pasar (domestik dan akses terhadap pasar global), faktor geografi dan kualitas institusi. 

Tidak semua determinan tersebut mesti dimiliki oleh suatu negara sepanjang dapat disubtitusi oleh faktor lain. Misalnya faktor geografi. Walaupun lokasi kegiatan ekonomi tersebut di daerah terpencil tetapi dengan fasilitas infrastruktur transportasi dan komunikasi yang baik dan memadai, lokasi menjadi ingridien yang kurang penting.

Kedua, kualitas institusi tergolong penting dan di antaranya tidak bisa disubstitusi dengan yang lain (Acemoglu and Robinson, 2012 khususnya bab 13). Di antara yang merupakan resep tergolong klasik yaitu kebijakan makro dan politik yang stabil. Keduanya merupakan necessary condition sebagai kunci sukses penting dari hilirisasi ini.

Yang tidak kurang pentingnya adalah predictability dan stability dari peraturan pemerintah. Stabilitas dan prediktibilitas peraturan merupakan bagian yang penting dari iklim berusaha yang kondusif. Hal ini merupakan prasyarat lain bagi entrepreneur mau melakukan investasi di suatu negara.

Prediktibitas peraturan ini terutama penting untuk industri-industri ekstraktif yang memiliki sunk cost – biaya yang hilang jika proyek tersebut gagal – yang besar. Iklim berusaha yang kondusif ini tidak bisa disubstitusikan dengan, misalnya, manipulasi nilai tukar (overvaluation untuk mendorong industri substitusi impor atau undervaluation nilai tukar untuk menambah insentif bagi industri promosi ekspor) atau tax holiday.

Ilustrasi Aktivitas Ekspor-Impor (ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/wsj.)

Studi Rasbin, Ikhsan, Gitahari dan Affandi (2021) menunjukkan bahwa undervaluasi nilai tukar khususnya untuk industri manufaktur tidak efektif meningkatkan output dan ekspor. Semakin hilir dan kompleks semakin tidak sensitif undervaluasi nilai tukar terhadap kinerja output dan ekspor industri manufaktur.

Ketiga, hilirisasi adalah proses penciptaan nilai tambah. Proses nilai tambah ini harus dievaluasi pada harga pasar (yaitu harga ekonomi yang mengeluarkan elemen subsidi di dalamnya). Setiap elemen insentif termasuk subsidi harus dilihat sebagai instrumen yang sementara yang bertujuan untuk menciptakan “future value added” baik sepanjang value chain maupun sepanjang production cycle.

Yang dimaksud sepanjang value chain adalah ada elemen dalam supply chain yang mungkin masih mengandung nilai tambah negatif (ada elemen subsidi di dalamnya), tetapi penjumlahan nilai tambah secara value chain tetap positif. Ada kendala (constraint) lain yang diperlakukan di sini bahwa tanpa ativitas yang bernilai tambah negatif maka proses penciptaan nilai tambah sepanjang value chain tidak dapat atau lebih sukar dilakukan.

Kemudian yang dimaksud sepanjang production cycle lebih bersifat antar-waktu. Suatu kegiatan yang pada awalnya memberikan nilai tambah negatif tetapi dapat menjadi positif di kemudian hari sehingga penjumlahan nilai tambah sepanjang waktu production cycle tetap positif.

Keempat, kebijakan pemerintah untuk melakukan penciptaan nilai tambah dengan proses hilirisasi tidak bisa disamaratakan untuk semua produk dan komoditas. Walaupun kita kaya dengan bahan baku, namun tidak berarti kita akan menghasilkan produk akhir yang mampu bersaing. Kemampuan kita menghasilkan produk yang bersaing tergantung pada ketersediaan input domestik dan input antara yang efisien.

Hal ini konsisten dengan riset LAPI-ITB yang menemukan hasil yang berbeda untuk proses hilirasi tembaga dan nikel di Indonesia. Temuannya, bahwa hilirisasi tembaga dengan pembangunan smelter kurang ekonomis sementara untuk pembangunan industri pengolahan nikel memiliki nilai ekonomis yang memadai.

Hal ini menjelaskan mengapa industri smelter nikel seperti yang di Morowali dan daerah lain berkembang pesat sementara pembangunan smelter tembaga baik oleh Freeport maupun Amman Nusatenggara berjalan tidak terlalu smooth.  Upaya untuk melakukan hilirisasi untuk komoditas lain harus dilakukan lebih hati-hati untuk menghindari biaya ekonomi yang sia-sia (Patunru, 2015)

Kelima, analisis harus dilakukan secara komprehensif untuk setiap komoditas dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif pada setiap kegiatan dalam supply chain. Tidak semua kegiatan dalam rantai penawaran (supply chain) ekonomis untuk dikembangkan.

Proses produksi semua produk atau komoditas kini mengikuti pola spesialisasi yang horizontal. Contoh, produksi Ipad melibatkan proses produksi di banyak negara – AS, Jepang, Cina, Taiwan, Jerman. Begitu pula dengan produksi sepeda olah raga (World Bank, World Development Report 2020).

Menarik untuk mengamati perubahan supply chain kedelai di Cina. Cina yang pada tahun 1990-an masih menjadi eksportir kini berubah menjadi importir terbesar dunia. Perubahan ini disebabkan karena Cina kehilangan keunggulan komparatif pada produksi kedelai dibandingkan dengan Brazil, Argentina, dan AS. Cina memilih mengembangkan produk akhir yang berbasis kedelai (impor) yang dapat menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi.

Dalam kasus Indonesia, pengembangan daging sapi yang permintaan potensialnya di pasar domestik akan meningkat tajam hingga kini dan mendatang perlu mengikuti prinsip yang serupa.  Perhitungan dalam supply chain sapi menunjukkan bahwa kita mempunyai keunggulan kompetitif termasuk dengan Australia dalam penggemukan sapi, bukan untuk semua kegiatan.

Jika kita fokus pada sisi hilir dalam proses value chain daging sapi termasuk modernisasi industri pemotongan (slaughterhouse), dan bersinergi dengan Australia dalam pengadaan anak sapi, nilai tambah yang dihasilkan Indonesia bisa lebih besar. Indonesia juga bisa memanfaatkan status negara Islam untuk menciptakan “brand” produser daging halal dunia.

Kesimpulan dalam beberapa studi kasus di atas adalah walaupun input antara domestik tidak tersedia, kita tetap bisa menghasilkan produk akhir (diproduksi di pasar domestik) jika kita dapat mengidentifikasi kegiatan dalam supply chain yang memiliki keunggulan komparatif dan menjamin akses terhadap input antara (termasuk impor) yang efisien.

Kelima, mengambil referensi dari studi teoritis Diop dan Laabidi bahwa ketersediaan (completeness) dari suatu ekosistem suatu rantai industri memberikan peluang yang lebih besar dari proses hilirisasi. Berkembangnya industri otomotif di Indonesia belakangan ini tidak terlepas dari terbentuknya ekosistem industri ini di kawasan industri Karawang dan Cikarang. Hal ini sebelumnya terjadi di Silicon Valley California untuk industri teknologi elektronik dan kawasan-kawasan industri Guangzhou di Cina.

Peran biaya transportasi untuk jenis industri atau kegiatan tertentu memegang peran penting terutama untuk memenuhi kebutuhan just in time production dan high variety product yang kesemuanya membutuhkan pabrik berdekatan dengan lokasi perakitan akhir.

Aglomerasi industri juga terlihat menonjol dalam menjawab fenomena berkembangnya kawasan industri Morowali di mana peran minimilisasi biaya transporasi lebih menonjol.  Dalam mengembangkan ekosistem ini, pasar domestik yang besar dapat menjadi anchor dan pasar global menjadi suplemen dan menjadi instrumen yang baik untuk memastikan tingkat efisiensi industri domestik. Sukses dari Korea Selatan melakukan industrialisasi dalam era 1980-an tidak terlepas dari penggunaan pasar global sebagai indikator keberhasilan.  

Keenam, geographic agglomeration dan sinergitas juga bisa sebagai modal untuk hilirisasi. Proximity to pusat produksi (the hubs) dalam network perdagangan global, Cina, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat menjadi penting untuk mendorong hilirisasi. Banyak rantai nilai industri tidak global melainkan regional.

Proximitas Vietnam terhadap supplier regional input industri elektronik memberikan penjelasan penting mengapa industri elektronik berkembang di Vietnam. Sama halnya dengan Vietnam, Indonesia seharusnya dapat menggunakan proximity dengan Jepang atau Cina untuk mendorong proses hilirisasi ini dengan tetap memperhatikan efisiensi di tingkat perusahaan.

Bukan hanya untuk produk manufaktur, pengembangan daging sapi di atas merupakan contoh dari peran geographic agglomeration dan sinergitas dengan Australia. Peluang untuk memanfaatkan geographic agglomeration ini meningkat dengan kecenderungan reshoring dan friendshoring industri manufaktur akibat perang dagang Amerika-Cina.    

Terakhir, proses penciptaan nilai tambah ini menuntut dukungan sektor logistik yang efisien.  Salah satu CEO perusahaan otomotof global pernah menceritakan kepada mantan Wakil Presiden Boediono bahwa di tingkat pabrikan, biaya produksi otomotif di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan di Thailand. Tetapi, begitu sampai di pelabuhan, nilai keunggulan biaya ini hilang begitu saja karena biaya logistik (di Indonesia dibandingkan Thailand) yang mahal.

Menjadi penting bagi pemerintah berfokus untuk mendorong pembangunan sektor logistik yang efisien melalui peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan pasar logistik domestik yang kompetitif.

Catatan:

[1] Tulisan ini merupakan pengembangan dari kolom penulis yang pernah dimuat dalam (majalah) Tempo, 7 April 2013. Beberapa pengulangan kalimat tidak bisa dihindari dan mohon dianggap bukan merupakan plagiarism.

[3] PDRB Kabupaten Morowali adalah 20 % lebih tinggi dibandingkan sebelum kawasan ini dikembangkan.

[4] Diop, Ndiame and Laabidi, Ramzi (akan dipublikasikan), Export-Led Growth Strategies Revisited: Innovate or Perish? Processed

[5] Sebagai contoh lihat Fujita, M., Krugman, P.: The new economic geography: past, present and the future. Pap. Reg. Sci. 83, 139–164 (2004)

Sumber: msn.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only