Tambah Lagi, Sri Mulyani Kini Kantongi Rp 15,15 Triliun Pajak Digital

Jakarta, Sampai dengan 30 September 2023, pemerintah telah menunjuk 161 pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jumlah tersebut termasuk tiga pemungut PPN PMSE yang ditunjuk pada bulan September 2023.

Dari keseluruhan pemungut pajak digital yang telah ditunjuk tersebut, 146 di antaranya telah melakukan pemungutan dan penyetoran sebesar Rp15,15 triliun.

“Jumlah tersebut berasal dari Rp 731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp 3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp 5,51 triliun setoran tahun 2022, dan Rp 5,01 triliun setoran tahun 2023,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti.

Selain tiga penunjukan yang dilakukan, di bulan ini pemerintah juga melakukan pembetulan elemen data dalam surat keputusan penunjukan atas Skype Communications SARL, Microsoft Ireland Operations Ltd., dan NCS Pearson Inc.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022, pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut wajib memungut PPN dengan tarif 11% atas produk digital luar negeri yang dijualnya di Indonesia.

Selain itu, pemungut juga wajib membuat bukti pungut PPN yang dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis lainnya yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran.

Ke depan, untuk terus menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Kriteria pelaku usaha yang dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE yakni, nilai transaksi dengan pembeli Indonesia telah melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan; dan/atau jumlah traffic di Indonesia telah melebihi 12 ribu setahun atau seribu dalam sebulan.

Stripe, perusahaan keuangan multinasional asal Irlandia mengeluarkan studi terbaru yang menemukan, para pelaku bisnis di Singapura dan ASEAN optimistis mengenai prospek ekspansi ke pasar internasional. Namun, mereka masih terhambat sejumlah kendala semisal digitalisasi dan aturan pajak.

Regional Head and Managing Director Southeast Asia, India & Greater China Sarita Singh melaporkan, sebanyak 84 persen bisnis di Singapura berharap untuk dapat melakukan ekspansi ke negara-negara baru dalam jangka waktu 24 bulan ke depan.

“Ekonomi digital yang berkembang pesat di Asia Tenggara memiliki potensi global luar biasa. Kecerdasan dan tekad kewirausahaan yang muncul dari kawasan ini akan terus menciptakan dampak global,” kata Sarita dalam rangkaian acara Stripe Tour Singapore, dikutip Kamis (28/9/2023).

Meski demikian, seiring dengan meningkatnya skala operasi internasional mereka, ada beberapa tantangan signifikan yang harus diatasi. Tantangan-tantangan ini menciptakan tekanan bagi para pemimpin keuangan di Asia Tenggara, yang perlu menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menyelesaikan permasalahan secara manual.

Menurut studi terbaru Stripe tentang CFO (Chief Financial Officer) dan pemimpin keuangan global, sebanyak 89 persen pemimpin keuangan di Singapura menghabiskan lebih dari separuh waktunya untuk mengerjakan tugas-tugas di belakang layar secara manual, yang seharusnya dapat digunakan untuk pekerjaan lebih strategis untuk arah kemajuan perusahaan.

Biaya yang dikeluarkan dari tugas-tugas manual tersebut tidak hanya berkaitan dengan waktu, tetapi juga berdampak pada pengambilan keputusan bisnis. Sebanyak 65 persen pemimpin keuangan di Singapura berpikir, ekspansi ke pasar baru sulit dilakukan karena adanya potensi gangguan pada sistem keuangan yang sudah ada.

Ekspansi

Tantangan terbesar lain yang menghambat perusahaan melakukan ekspansi ke tingkat global, berurusan dengan lingkungan pajak internasional yang semakin kompleks.

Stripe mengemukakan, sebanyak 68 persen pemimpin keuangan di Singapura percaya bahwa persyaratan pajak bisnis mereka menjadi lebih kompleks. Merespon hal itu, Stripe merancang Stripe Tax, bagian inti dari rangkaian otomatisasi pendapatan dan keuangan untuk mengatasi tantangan pajak. Produk ini memberikan pemilik bisnis kemudahan dalam mengumpulkan pajak penjualan, PPN, dan GST secara otomatis pada transaksi Stripe di lebih dari 40 negara.

Sarita mengumumkan, produk juga akan diperluas lebih lanjut di negara-negara yang tercakup di ASEAN selain Singapura seperti Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Thailand.

“Hal ini akan mempermudah pemilik bisnis di kawasan tersebut untuk melakukan ekspansi ke pasar negara tetangga yang berkembang pesat tanpa berhadapan dengan rumitnya prosedur pajak tambahan,” tuturnya.

Banyak Pengusaha Indonesia Terlahir dari Instagram dan TikTok

Sebelumnya, transformasi digital telah banyak merubah pola bisnis di Indonesia. Kebanyakan pengusaha tak lagi mengincar lapak tradisional untuk menjual produk barang atau jasanya, tapi langsung menyasar pasar online. 

Regional Head and Managing Director for Stripe in Southeast Asia Sarita Singh menilai, pola itu berkebalikan dengan apa yang terjadi di belahan dunia bagian barat, yang memulai geliat bisnisnya dari pasar offline.

“Sebagian besar negara maju ada kebarat-baratan biasnya memulai bisnis offline. Misalnya, saya sebagai retailer pasti memulainya secara offline, baru nantinya membangun bisnis digital,” ungkapnya di Stripe Tour di Singapura, Rabu (27/9/2023).

“Yang berbeda dari Asia Tenggara adalah banyak bisnis yang juga baru dibangun dalam 10-15 tahun terakhir. Mereka memulainya sebagai digital natives, baru kemudian menjamah offline,” imbuh Sarita. 

Menurut dia, kebalikan tren bisnis tersebut jadi suatu pola yang menarik. Pasalnya, saat ini banyak pengusaha-pengusaha digital yang memulai bisnisnya di media sosial seperti Instagram dan TikTok Shop juga tak ingin ketinggalan pasar offline. 

“Banyak bisnis yang dimulai di Instagram, atau di semua jenis platform lainnya. Namun kemudian, seiring pertumbuhannya, mereka berpindah dari online ke offline,” kata Sarita. 

Tak mau ketinggalan, Stripe selaku platform pemrosesan pembayaran turut memanfaatkan momentum tersebut. “Ini sangat penting untuk pasar-pasar tersebut, dan kami semakin banyak menghadirkan solusi offline, karena kami memiliki pembayaran online, pembayaran digital, dll,” ungkapnya. 

“Jadi kedua tren tersebut sebenarnya lebih banyak mendorong otomasi bisnis di tingkat middle dan back office. Itu kemudian yang menjadi tanggung jawab kami,” ujar Sarita. 

Sumber : liputan6.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only