Rasio penerimaan PPN pada tahun 2022 meningkat hingga ke level 70%
Kemampuan pemerintah dalam memungut pajak konsumsi alias pajak pertambahan nilai (PPN) terus membaik. Hanya saja, hal ini masih perlu dioptimalkan.
Membaiknya kemampuan pemerintah dalam memungut PPN tercermin dari value added tar (VAT) gross collection ratio yang terus meningkat Indikator ini dihitung berdasarkan realisasi penerimaar PPN dibagi tarif PPN yang berlaku dan dikalikan dengan nominal produk domestik bruto (PDB) untuk konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan perhitungan KONTAN dengan menggunakan nominal PDB atas dasar harga berlaku, VAT gross collection ratio híngga kuartal III-2022 sebesar 67,10% dengan tarif PPN sebesar 10%, dan sebesar 73,81% dengan tarif PPN 11%.
Keduanya meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Misalnya, VAT gross collection pada tahun 2021 yang hanya sebesar 59,65%. Meski membaik, kemampuan pemerintah dalam memungut PPN belum sepenuhnya optimal lantaran masih jauh dari level 100%
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, kinerja PPN sejatinya sangat dipengaruhi oleh tren konsumsi domestik Indonesia. Meski konsumsi masyarakat terus membaik, namun penerimaan PPN belum sepenuhnya optimal
Hal tersebut lantaran, pertama, banyaknya skema pengecualian. Melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mayoritas barang atau jasa yang sebelumnya dikecualikan, kini memang menjadi objek PPN.
Namun, “Pemerintah masih memberikan fasilitas, baik pembebasan atau PPN tidak dipungut. Dengan demikián, perubahan tersebut relatif berdampak netral bagi penerimaan,” kata Bawono kepada KONTAN, Senin (30/1)
Pengamat Perpajakan Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan, batasan untuk pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) yang ditetapkan oleh pemerintah masih terlalu tinggi, yakni Rp 4,8 miliar per tahun. Alhasil, “Banyak usaha yang tidak masuk ke dalam sistem PPN kita,” kata dia.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto juga mengatakan, belum optimalnya rasio penerimaan PPN terhadap potensinya lantaran dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, tidak semua transaksi penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN. Terutama transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak yang belum dikukuhkan sebagai PKP.
Kedua, pemberian beberapa insentif pajak. Misalnya, PPN ditanggung pemerintah. (DTP) untuk kendaraan dan properti, serta fasilitas pembebasan PPN lainnya untuk penyerahan barang selama penanggulangan pandemi.
Harga komoditas
la juga melihat, penerimaan PPN pada tahun ini akan menghadapi tantangan. Ini pula yang akan menyebabkan kemampuan pemerintah dalam memungut PPN kembali belum optimal.
“Beberapa ancaman yang akan dihadapi di antaranya penurunan harga komoditas yang berdampak turunnya daya beli masyarakat, terutama di daerah penghasil komoditas. “Penurunan harga bisa menggerus basis penerimaan PPN,” kata Wahyu, kemarin.
Sebagai upaya untuk mengoptimalkan penerimaan PPN tahun ini, pemerintah juga bisa memaksimalkan transaksi pajak dari sektor digital yang potensinya cukup besar di era pesatnya perkembangan teknologi internet.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply