Kasus terbaru yang melibatkan seorang pegawai pajak menyita perhatian publik. Seorang PNS Direktorat Dirjen Pajak (DJP) bernama Rafael Alun yang diberhentikan Menteri Keuangan karena masalah etika, tidak lapor LHKPN secara benar, dan indikasi menyembunyikan harta. Masyarakat akhirnya ramai menyorot gaji dan tunjangan PNS para pegawai pajak. Padahal baru Desember 2022 lalu Mahkamah Agung (MA) menguatkan vonis 9 tahun penjara kepada Mantan Direktur Ditjen Pajak Angin Prayitno yang terbukti menerima suap Rp 55 miliaran bersama bawahannya.
Belakangan PPATK mengungkap transaksi janggal Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan sepanjang 2009 – 2023. Berbagai macam peristiwa tersebut tentu berpotensi menurunkan target rasio pajak Indonesia. Merosotnya rasio pajak (tax ratio) atas Pendapatan Domestik Bruto (PDB) bisa terlihat sejak 2009, di mana pada 2008 tax ratio sebesar 13,3 persen sementara pada 2009 hanya 11,1 persen. Bahkan rasio pajak sempat menyentuh satu digit pada 2017 dan 2019.
Data dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pun mencatat sepanjang 2019 – 2020 Indonesia tercatat sebagai negara dengan proporsi pajak terendah terhadap PDB. Hanya lebih baik dari Bhutan (8,9) dan Laos (8,9). Sementara tetangga tetangga seperti Malaysia (11,4) atau Singapura (12,8) mampu melampaui Indonesia. Thailand bahkan di angka sebesar 16,9. Indonesia pun menjadi yang terendah rasio penerimaan perpajakannya di antara Negara G-20.
Menurut laporan World Bank ‘kualitas’ pemungutan pajak Indonesia juga dianggap rendah. Indonesia berada pada peringkat 112 pada indikator Pembayaran Pajak dibandingkan dengan negara-negara setara lainnya pada peringkat Doing Business Bank Dunia 2019. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada 11 Juni 2019 menargetkan rasio pajak naik hingga 14 persen pada 2024. Target ini menjadi kian mustahil, karena tax ratio pada 2023 saja dipredikasikan lebih rendah dari 2022 yang mencapai 10,4 persen. Penyebabnya karena turunnya harga komoditas dibandingkan pada 2022.
Efek Buruk Rasio Pajak yang Rendah
Menurut World Bank dalam laporan Media Briefing Online: Public Expenditure Review World Bank 2020 bahwa tax ratio Indonesia paling rendah dibandingkan negara berkembang lain. Maka tidak heran tingkat belanja publik Indonesia secara keseluruhan relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya (Emerging and Developing Market Economies, EMDEs). Belanja publik Indonesia Sebesar 16,6 persen dari PDB pada 2018 atau setengah dari EMDEs lainnya, yang membelanjakan rata-rata sebesar 32 persen dari PDB.
Konsekuensi dari rendahnya penerimaan pajak ialah semakin membengkaknya utang untuk membiayai pembangunan. Dari tahun ke tahun, utang Indonesia nyaris selalu lebih besar dari pembayaran utang sehingga jumlahnya kian menggunung. Posisi utang pemerintah hingga 31 Januari 2023 total mencapai Rp 7.754,9 triliun. Ini berarti, setiap warga negara Indonesia akan memikul beban utang sekitar Rp 28 juta.
Rasio utang Indonesia sering disampaikan masih aman terkendali, dengan menyebut bahwa rasio utang kita lebih rendah dibandingkan dengan Negara-negara maju dan beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Tetapi yang perlu dikhawatirkan sesungguhnya adalah kemampuan membayar, bukan sekadar besaran utang dibanding PDB-nya. Karena kita membayar utang bukan dengan besaran PDB tapi dengan pendapatan negara.
Kita bisa memahami mengapa negara-negara maju mempunyai peringkat utang lebih baik dari Indonesia, walau rasio utang mereka melampaui PDB. Negara maju dianggap memiliki kemampuan membayar lebih baik, terutama karena pendapatan negara tinggi berdasar dari tax ratio-nya. Negara-negara maju mempunyai peringkat peminjam terbaik (AAA). Singapura sendiri memiliki sovereign credit rating yaitu AAA. Sementara Malaysia peringkat A- dan Thailand BBB+ yang lebih baik dari Indonesia. Mengapa negara tetangga kita memiliki peringkat lebih baik dari Indonesia, salah satu jawabannya karena rasio penerimaan pajak negara-negara tersebut jauh lebih besar dari Indonesia.
Saatnya Memperbaiki KeadaanMenjadi tidak mudah untuk memperbaiki situasi dengan keadaan seperti saat ini. Publik dipertontonkan problematika para pegawai pajak di tengah rendahnya rasio pajak kita. Tetapi momentum untuk memperbaiki keadaan selalu ada. Karena untuk membangun sistem perpajakan yang ideal dibutuhkan kemampuan untuk meyakinkan publik bahwa mereka dilindungi dari praktik korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Sebuah studi pada puluhan negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kepatuhan pajak dengan rendahnya tingkat korupsi dan kemudahan birokrasi.
Pada sisi lain, kebijakan fiskal pemerintah seharusnya mengarah pada reformasi mendasar perpajakan Indonesia. Kualitas dan kuantitas tenaga pajak perlu terus ditingkatkan. Kemudahan birokrasi yang diikuti dengan perbaikan administrasi perpajakan seharusnya menjadi kunci utama. Selama stagnasi tax ratio terus terjadi maka belanja publik kita terbatas dan utang negara sulit dikendalikan.
Muhammad Isman AM Tenaga Ahli Anggota DPR Komisi XI
Sumber: detik.com
Leave a Reply