Pemerintah Punya Wewenang Tetapkan Tarif Pajak Hiburan Secara Nasional

Pemerintah pusat sesungguhnya memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu dengan menetapkan tarif yang berlaku secara nasional. Revisi tarif oleh pusat ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 97 UU HKPD.

Director of DDTC Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji berpandangan revisi tarif oleh pemerintah pusat berdasarkan Pasal 97 UU HKPD adalah opsi yang lebih efisien ketimbang membiarkan pemda memberikan keringanan pajak melalui peraturan kepala daerahnya masing-masing.

“Jadi sebenarnya dimungkinkan juga dalam kriteria tertentu nanti tarif yang berlaku secara nasional. Ini bisa lebih efisien dan bisa memastikan behavior pemda,” ujar Bawono dalam acara Profit yang disiarkan oleh CNBC Indonesia, Selasa (23/1/2024).

Bawono menerangkan ketentuan perpajakan daerah dalam UU HKPD sesungguhnya memberikan koridor bagi pemda untuk meningkatkan local taxing power.

Melalui undang-undang tersebut, pemda mendapatkan ruang yang menetapkan tarif pajak secara memberikan insentif. Dengan demikian, perilaku pemda dalam memanfaatkan ruang tersebut cenderung bervariasi.

“Dari sisi pusat kalau kita lihat UU HKPD, dia tidak mematok tarif secara absolut, ada rentang [tarif]. Kemudian ada ruang-ruang untuk insentif dan sebagainya. Pertanyaannya, sejauh mana behavior pemda bisa melihat ini? Jadi bagaimana dia memajukan industri, bukan mematikan,” ungkap Bawono.

Agar tercipta tarif pajak yang optimal di seluruh pemda, penetapan tarif oleh pemerintah pusat berdasarkan pertimbangan tertentu dirasa lebih efisien. “Misalkan pajak hiburan ini mungkin belum terlalu bisa dioptimalkan atau perlu recover dulu. Ini lagi-lagi harus ada konsultasi publik,” ujar Bawono.

Pasal 97 ayat (1) UU HKPD memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menyesuaikan kebijakan pajak daerah sejalan dengan program prioritas nasional.

Pasal 118 PP 35/2023 pun mengatur bahwa yang dimaksud dengan program prioritas nasional adalah proyek strategis nasional yang ditetapkan pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyesuaian tarif dapat ditetapkan lewat perpres yang memuat proyek strategis yang mendapatkan fasilitas penyesuaian tarif, jenis pajak yang disesuaikan, besaran penyesuaian tarif, mulai berlakunya penyesuaian tarif, jangka waktu penyesuaian tarif, dan daerah yang menyesuaikan tarif.

Dalam siaran yang sama, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani mengatakan pemerintah melalui Kemendagri telah menerbitkan Surat Edaran Mendagri Nomor 900.1.13.1/403/SJ yang memberikan pedoman bagi pemda untuk memberikan keringanan PBJT atas jasa hiburan tertentu.

Namun, pemda-pemda tampaknya belum memiliki persepsi yang sama atas surat edaran tersebut. Menurut Hariyadi, masih ada pemda yang memilih untuk menunggu surat edaran Kemenkeu.

“Bali itu secara lisan mengatakan akan kembali ke tarif lama 15%, Makassar saya dengar juga demikian, mereka akan memberlakukan tarif yang lama. DKI Jakarta saya belum tahu. Informasi yang saya peroleh, DKI Jakarta masih menunggu surat edaran dari menteri keuangan,” ujar Hariyadi.

Untuk diketahui, UU HKPD memberlakukan tarif PBJT dengan tarif sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa mulai tahun ini. Tarif minimal sebesar 40% ini dipandang memberatkan oleh para pelaku usaha.

Pada saat UU 28/2009 masih berlaku, pemda memang memiliki kewenangan untuk mengenakan pajak hiburan dengan tarif hingga 75%. Namun, UU 28/2009 tidak memuat tarif minimal. Dengan demikian, pemda dapat menerapkan pajak hiburan dengan tarif di bawah 40%.

Sumber : news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only