Rasio pajak Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain
Peningkatan rasio pajak alias tax ratio Indonesia menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintahan baru. Maklumlah, rasio pajak Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lain.
Berdasarkan publikasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bertajuk OECD Revenue Statistics in Asia dan the Pacific 2022, rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2020 sebesar 10,1%. Level ini masih jauh di bawah negara-negara ASEAN lain, seperti Filipina yang mencapai 17,1%, Thailand 16,5%, Singapura 12,8%, dan Malaysia 11,4%.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, satu cara untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia adalah mengoptimalkan penerimaan pajak dari kalangan crazy rich. “Sekarang perlu keberanian politik untuk kejar pajak orang kaya, terutama yang asetnya tersebar di banyak negara,” ujar dia ke KONTAN, Senin (19/2).
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat juga mengatakan, saat ini struktur penerimaan pajak di Indonesia masih sangat timpang. Menurut dia, orang kaya Indonesia menyumbang penerimaan pajak lebih sedikit dibandingkan kelompok karyawan. Hal ini terlihat dari kontribusi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi yang hanya berkontribusi 0,7%. Angka itu, jauh lebih rendah dibandingkan kelompok karyawan atau PPh 21 yang mencapai 11% di sepajang tahun 2023.
Di sisi lain, meski Undang- Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengatur orang kaya Indonesia masuk ke dalam lapisan tarif 35%, namun tarif pajak itu masih lebih rendah dibandingkan negara lain. “Tarif ini (35%) masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Amerika Serikat misalnya sudah 37%, Korea Selatan 42%, Jepang malah 45%,” kata dia.
Penerimaan LTO
Catatan KONTAN, setoran pajak orang kaya dan super kaya di Indonesia meningkat sepanjang 2023. Itu terindikasi dari penerimaan pajak Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Wajib Pajak Besar yang senilai Rp 584,53 triliun di 2023 atau 101,75% dari target.
Angka itu tumbuh 11,09% year on year (yoy), dengan kontribusi 31,27% terhadap total penerimaan pajak nasional pada 2023 yang tercatat Rp 1.869, 2 triliun.
Memang, Large Tax Office (LTO) tak hanya mengadministrasikan wajib pajak besar orang pribadi, tetapi badan. LTO juga tak hanya mengadministrasikan PPh, tetapi juga pajak pertambahan nilai (PPN) wajib pajak besar.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengakui tax ratio Indonesia masih rendah meski target penerimaan pajak senantiasa mencapai target dalam waktu tiga tahun terakhir ini.
Pada 2023, tax ratio Indonesia tercatat hanya 9,61%, di bawah 10%. Angka ini lebih baik dibanding 2020 sebesar 8,3%, saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19. “Tantangannya, bagaimana kita menggunakan resources yang ada untuk mengcapture pajak dari aktivitas ekonomi,” kata Suryo, beberapa waktu lalu.
Dari sisi kebijakan, hal itu telah ditindaklanjuti kehadiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun isu data dan informasi masih menjadi tantangan Ditjen Pajak dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Apalagi, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self-assessment.
Kehadiran UU No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan memungkinkan Ditjen Pajak Kemkeu untuk mengumpulkan informasi dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya di Indonesia, bahkan di luar negeri. Jadi, jika ada data berbeda disampaikan wajib pajak, maka Ditjen Pajak akan mengingatkan hal itu ke wajib pajak.

Sumber : Harian Kontan, Selasa 20 Februari 2024, Hal.2
Leave a Reply