Ketimbang PPN Naik 12%, Jokowi Lebih Baik Tarik Pajak Orang Kaya!

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta pemerintah membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025. Dia menilai lebih baik pemerintah mulai menerapkan pajak kekayaan.

“Pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12%,” kata dia, Senin, (18/3/2024).

Bhima mencontohkan penerapan pajak kekayaan. Dia bilang pemerintah bisa membuat kategori 10% wajib pajak dengan aset terbesar. Kemudian pemerintah dapat menentukan tarif pajak kekayaan yang dihitung dari aset yang dimiliki orang kaya tersebut.

“Contohnya tarif pajaknya 2% dari net asset atau kekayaan bersih, maka orang kaya dengan aset Rp 10 triliun akan dipajaki Rp 200 miliar per tahunnya,” kata Bhima.

Bhima menilai mengatakan kenaikan tarif PPN bukan solusi untuk meningkatkan pendapatan negara. Dia mengatakan kebijakan ini justru lebih banyak mudaratnya pada pertumbuhan ekonomi.

“Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12%, karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga,” kata dia.

Dia mengatakan jika konsumsi melambat, maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk PPN justru akan terpengaruh. “Kalau mau dorong rasio pajak perluas dong obyek pajaknya, bukan utak-atik tarif, menaikkan tarif pajak itu sama dengan berburu di kebun binatang,” kata dia.

Sebelumnya, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Presiden Jokowi meneken UU baru tersebut sejak 29 Oktober 2021.

Bab IV UU HPP mengatur khusus mengenai Pajak Pertambahan Nilai alias PPN. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty memperkirakan imbas kenaikan tarif PPN ini akan membuat konsumsi masyarakat tertekan. Telisa mengatakan, kenaikan tarif PPN dari yang saat ini sebesar 11% menjadi 12% memang terlihat kecil, karena hanya naik 1%. Namun, ketika kenaikan tarif itu dikonversikan dalam bentuk harga, maka akan terasa peningkatannya, terutama untuk barang-barang bernilai tinggi seperti durable goods.

“Artinya ketika masyarakat merasakan kenaikan harga akibat kenaikan PPN mereka kemudian mengurangi pembelian terhadap barang tersebut, konsumsi jadi turun,” ucap Telisa.

“Terutama ke produk-produk yang sifatnya durable ya, karena produk-produk durable itu biasanya nilainya cukup besar, jadi semakin besar nilainya semakin terasa kenaikan harganya,” tegasnya.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only