Kenaikan Tarif PPN Jadi Disinsentif untuk Perekonomian Domestik

JAKARTA, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai langkah pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Pasalnya, kebijakan tersebut akan menekan perekonomian nasional, padahal saat ini pertumbuhan ekonomi sedang dalam tren pemulihan pasca pandemi covid-19.

“Kebijakan kenaikan tarif PPN perlu dikaji ulang, karena kebijakan ini akan menjadi disinsentif fiskal yang memberikan tekanan terhadap perekonomian yang sedang dalam tren positif. Pemerintah mempunyai ruang tersebut. Tergantung willingness dan orientasi pemerintah dalam memerankan kebijakan fiskal,” ucap Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani dalam pernyataan resmi yang diterima pada Rabu (15/5/2024).

Dari sisi regulasi, pemerintah memang mempunyai ruang untuk membuat kebijakan menaikkan tarif PPN. Sesuai dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 ayat (1): tarif PPN sebesar 12% yang berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Pasal tersebut bisa menjadi konsideran pemerintah dalam menaikkan tarif. Tetapi, di sisi lain, pemerintah juga bisa melakukan penyesuaian waktu atau penundaan, seperti halnya tentang kebijakan pajak karbon  yang dilakukan banyak penyesuaian, padahal sudah diatur dalam pasal 13 UU HPP.

“Artinya, realitas lapangan dan kondisi perekonomian bisa menjadi pertimbangan dalam membuat dan menjalankan kebijakan,” terang Ajib.

Bila dilihat dari sisi keuangan negara, fungsi utama perpajakan untuk aspek budgetair, pemerintah mendesain keuangan negara bertumpu secara signifikan terhadap penerimaan pajak, termasuk penerimaan sektor PPN. Dalam APBN 2023, penerimaan sektor PPN dan pajak penjualan atas barang mewah mencapai kisaran Rp 764 triliun.

“Kalau pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, tahun 2025 penerimaan PPN bisa tereskalasi sekitar Rp 80 triliun . Dengan asumsi perhitungannya, tingkat pertumbuhan ekonomi 2024 dan 2025 di kisaran 5%-an dan tingkat inflasi 2%-an,” tutur Ajib.

Kenaikan tarif PPN akan memberikan dampak pada perekonomian nasional terhadap dua sisi, yaitu pelaku usaha dan daya beli masyarakat PPN merupakan pajak yang dikenakan pada konsumen akhir, atau ditanggung oleh masyarakat luas. Sehingga secara umum, akan memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat.

“Di sisi lain, ketika pelaku usaha meng-absorb kenaikan tarif PPN ke dalam harga pokok penjualan, hal ini bisa mengurangi keuntungan perusahaan dan menjadi sentimen negatif dalam pengembangan usaha,” kata Ajib.

Pemerintah seharusnya membuat fokus penerimaan negara dengan skala prioritas yang lebih luas, yaitu atas empat hal pokok yaitu pajak, cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan optimalisasi dividen BUMN. Dalam konteks BUMN, Kementerian Keuangan sebagai perpanjangan tangan pemerintah sebagai pemegang saham, seharusnya membuat benchmarking dengan private sector, berapa deviden yang ideal dari BUMN, termasuk ukuran kuantitatif atas perhitungan return on asset (ROA) nya.

“Bila pemerintah fokus dengan optimalisasi ini, maka aspek perpajakan bisa lebih banyak sebagai regulerend, atau pengatur ekonomi, bukan hanya sebagai pengumpul uang buat negara,” ujar Ajib.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan pajak. Nantinya pada tahun 2025 pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 12% dari yang saat ini sebesar 11%. Namun pemerintah juga akan mengoptimalkan penerapan sistem inti perpajakan (core tax system) untuk menggenjot penerimaan.

“Strategi kedepan bukan kerek PPN tetapi kerek penghasilan pajak. Tentu kerek penghasilan pajak diharapkan dengan implementasi dengan sistem yang lebih baik. Tentu kalau di dirjen pajak ada implementasi dari core tax system diharapkan bisa maksimal,” pungkas dia.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only