Pemerintah Raup Pajak Digital Rp 25 Triliun

Pemerintah terus mengeduk potensi pajak digital. Direktorat Jendral Pajak, Kementerian Keuangan telah menghimpun penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp 25,88 tiriliun, per 30 Juni 2024.

Angka ini berasal dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdanganan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp 20,8 triliun, pajak kripto sebesar Rp 798,84 miliar, pajak fintech (P2P lending) senilai Rp 2,19 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp 2,09 triliun.

Hingga Juni tahun ini, pemerintah telah menunjuk 172 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di bulan yang sama, tidak ada penunjukan, pembetulan/perubahan data maupun pencabutan pemungut PPN PMSE. Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 159 PMSE telah memungut dan menyetor PPN PMSE senilai Rp 20,8 triliun.

“Jumlah itu berasal dari Rp 731,4 miliar setoran 2020, Rp 3,90 triliun setoran 2021, Rp 5,51 triliun setoran 2022, Rp 6,76 triliun setoran 2024,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak, Dwi Astuti, dalam keterangan resminya, Jumat (19/7).

Ditjen Pajak mencatat, penerimaan pajak kripto Rp 798,84 miliar sampai Juni 2024. Angka ini berasal dari Rp 246,45 miliar penerimaan 2022, Rp 220,83 miliar penerimaan 2023, dan Rp 331,56 miliar penerimaan 2024. Penerimaan pajakkripto itu terdiri dari RP 376,13 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan RP 422,71 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.

Dwo menambahkan, pemerintah terus menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai rendahnya penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital karena terbatasnya objek dari PPN PMSE. Ia bilang, selama ini yang menjadi objek adalah jasa digital dari luar negeri. “Padahal ekonomi digital di Indonesia paling besar segmen marketplace bukan jasa digital dari luar negeri,” kata dia, Minggu (21/7).

Di samping itu, ada keterbatasan penegakan hukum. Seperti dialami industri kripto, dimana banyak yang beralih ke platform yang tak terdaftar. Untuk menggenjot penerimaan, kata Fajry opsinya adalah memperluas ke market place.

Sumber : Harian Kontan, Senin 22 Juli 2024, Hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only