Kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) Indonesia masih rendah dan tertinggal dibandingkan negara tetangga. Hal ini menjadi latar belakang pengaturan kembali kebijakan PPN, termasuk kenaikan tarif dari 10% menjadi 11% pada April 2022 dan menjadi 12% yang berlaku selambat-lambatnya 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang tentang Harmoninasasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Rendahnya kinerja PPN itu tercermin dari angka C-efficiency yang tercatat hanya sebesar 63,58% pada 2018. Level ini dibawah Singapura dan Thailand yang masing-masing tercatat sebesar 92,69% dan 113,83%.
Adapun C-efficiency didapat dengan membandingkan antara produktivitas PPN terhadap rasio konsumsi. Sementara produktivitas PPN merupakan perbandingan rasio PPN terhadap tarif PPN. Sedangkan rasio PPN merupakan hasil perbandingan penerimaan PPN terhadap PDB.
Fungsional Penyuluhan Pajak Ahli Madya DJP Kanwil Banten, Dedi Kusnadi menjelaskan, Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58% dari PPN yang seharusnya bisa dipungut lantaran masih terdapat barang dan jasa yang belum masuk ke sistem PPN. Selain itu juga disebabkan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.
“Sementara, di sana (Singapura dan Thailand) produk-produk pertanian juga dikenakan PPN, kalau di Indonesia tidak dikenai PPN,” terang Dedi, Selasa (15/10).
Oleh sebab itu, pemerintah berupaya memperluas basis pemajakan melalui UU HPP. Melalui UU HPP pula, pemerintah menaikkan tarif PPN secara bertahap, dari 10% menjadi 11%, dilanjutkan rencana kenaikan mejadi 12%.
Sumber : Harian Kontan, Rabu 16 Oktober 2024, Hal 2
Leave a Reply