Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) berpotensi naik pada Januari 2025 mendatang, sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif PPN itu akan naik dari saat ini 11% menjadi 12% pada masa pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Hingga kini Prabowo belum membuat pernyataan tetap mempertahankan tarif PPN atau tidak. Namun, adik kandung Prabowo, yakni Hashim Djojohadikusumo memberikan sinyal bahwa Prabowo memiliki kecenderungan untuk menurunkan tarif pajak penghasilan badan atau PPh Badan.
Kebijakan pemerintah untuk mendongkrak penerimaan negara melalui utak-atik tarif PPN dan PPh itu mendapat kritikan khusus dari mantan Menteri Keuangan periode 2014-2016 Bambang Brodjonegoro. Menurutnya, fokus kebijakan yang hanya tertuju pada PPN dan PPh selama ini membuat penerimaan pajak sangat rentan terhadap gejolak ekonomi.
“Struktur penerimaan negara kita itu rentan, karena sangat bergantung atau istilahnya sangat siklikal kepada kondisi ekonomi, yaitu terutama harga komoditas,” kata Bambang dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Kamis (16/10/2024).
“Kenapa? Karena yang paling besar itu PPh badan. Nomor dua adalah PPN. Dan dua jenis pajak ini sangat terpengaruh dengan kondisi ekonomi,” tegas Bambang.
Berdasarkan data terbaru Kementerian Keuangan per Agustus 2024, PPh Badan dan PPN Dalam Negeri memang menjadi jenis pajak yang paling mendominasi total penerimaan pajak. Untuk PPN DN berkontribusi secara neto terhadap total penerimaan pajak sebesar 23%, dan PPh Badan di urutan kedua 17,8%.
Urutan ketiganya bahkan persentasenya jauh tertinggal, yakni hanya sebesar 14,7% untuk PPh Pasal 21 atau pajak gaji karyawan, dan PPN Impor dengan porsi kontribusi yang sama sebesar 14,7%. Terkecil ialah jenis PPh Orang Pribadi yang kontribusinya hanya 1% dari total penerimaan negara.
“Kalau kondisi ekonomi lagi bagus, pasti PPN bagus penerimaannya, dan PPh badan juga pasti bisa di atas target. Tapi kan kondisi ekonomi tidak seperti itu terus, ada up and down, ada siklus yang menyebabkan kadang-kadang penerimaan pajak malah di bawah target,” tutur Bambang.
Menurut Bambang, fokus kebijakan pajak yang hanya tertuju pada PPN dan PPh sudah usang di negara-negara maju karena sifatnya yang sangat tergantung oleh siklus ekonomi. Ia mengatakan, fokus kebijakan pajak ke depan yang paling baik adalah dengan mengandalkan PPh Orang Pribadi.
“Jadi memang di satu sisi penerimaan negara pun strukturnya harus diperbaiki dengan mengandalkan yang namanya PPh perorangan, seperti layaknya penerimaan pajak di negara-negara maju, yang tidak bergantung kepada hal-hal yang siklikal,” kata Bambang.
Dengan fokus kebijakan penerimaan negara pada jenis pajak PPh Orang Pribadi itu, maka bisa membuat penerimaan negara lebih stabil. Sebab, Bambang menekankan, PPh OP sepenuhnya dikenakan pada penghasilan masyarakat.
Kebijakan yang berfokus pada PPh OP menurutnya juga tidak akan terlalu banyak mempengaruhi daya beli masyarakat. Sebab, jenis pajak yang sangat mempengaruhi daya beli masyarakat adalah PPN, karena dikenakan terhadap setiap transaksi tanpa mempertimbangkan status miskin atau kaya.
“Karena bergantung kepada sesuatu yang lebih permanen, lebih tetap, dan itu yang lebih sehat sebenarnya. Sehingga tidak perlu kemudian masyarakat direpotkan dengan kenaikan pajak yang basisnya adalah transaksi langsung (PPN),” ungkap Bambang.
Sumber : cnbcindonesia.com
Leave a Reply