Kalau bisa protes, tentu saja sapi yang diternak akan marah kalau tahu susunya dibuang percuma. Saban hari, sapi-sapi ini diperah susunya oleh peternak. Peristiwa ini terjadi di Boyolali, Jawa Tengah dan Pasuruan, Jawa Timur.
Susu yang terbuang tak hanya bikin pilu ternaknya, tetapi juga membuat peternak sapi perah nya ikut menanggung derita. Karena susu sapi perah yang mereka hasilkan terbuang begitu saja.
Di sisi lain, data Dewan Persusuan Nasional (DPN) menyebutkan, jumlah sapi perah di Indonesia ada 600.000 ekor, namun yang produktif hanya berkisar 300.000 ekor saja. Dengan jumlah sedikit, sejatinya tak cukup memenuhi kebutuhan susu untuk industri pengolahan susu di Indonesia.
Tapi di sinilah letak anomali ekosistem industri susu nasional. Industri pengolahan susu dimanjakan impor, bahkan memenuhi 80% kebutuhan bahan baku susu. Mereka dibikin nyaman dengan insentif pajak pertambahan nilai (PPN), sehingga harganya lebih murah dibandingkan susu sapi lokal.
Teguh Boediyana, Ketua Dewan Persusuan Nasional (DPN) bercerita, ketergantungan impor bahan baku susu ini disebabkan oleh ketiadaan aturan yang tegas dari pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi susu nasional.
Teguh menilai, kebutuhan saat ini adalah peraturan perundangan, minimal berupa Peraturan Presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres) untuk memberikan jaminan kelangsungan usaha peternakan sapi perah rakyat.
Peraturan ini diharapkan bisa mengatur tata niaga susu, sehingga peternak menjual susu segarnya ke industri pengolahan susu (IPS) sebagai bahan baku. Sejatinya, sebelum era reformasi, pemerintah memberikan perlindungan kepada peternak lewat Inpres No 2/1985.
Beleid ini mewajibkan industri pengolahan susu boleh impor usai menyerap susu dari peternak. Sayangnya, aturan ini dicabut tahun 1998 karena desakan International Monetery Fund (IMF). Sejak itulah produksi susu nasional tak pernah naik alias stagnan.
Di sisi lain, permintaan susu di Indonesia terus naik seiring pertumbuhan populasi dan ekonomi. Tahun 1995, produksi susu segar dalam negeri bisa memenuhi 50% kebutuhan nasional, namun kini hanya menopang 20% kebutuhan nasional.
“Pemerintah kurang memberikan perhatian setelah dicabutnya Inpres No 2/1985, malah lebih fokus pada swasembada daging daripada pengembangan sapi perah,” ucap Teguh.
Populasi sapi perah di Indonesia ada sekitar 600.000 ekor, namun yang produktif hanya 300.000 ekor.
Hal serupa juga dirasakan Dedi Setiadi, Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Menurutnya, perlu ada aturan yang bisa memastikan susu petani bisa terserap. Dengan demikian, akan ada kepastian pasar bagi peternak lokal menyuplai susu hasil pro duksinya. Tak hanya bagi peternak, tetapi juga bagi industr yang bisa mendapat kepastia pasokan.
Jika dilihat dari sisi produksi peternak lokal hanya dapat me masok 20% kebutuhan susu nasional. Artinya, seluruh produksi bisa terserap dan tak terbuang. Namun apa daya, beberapa industri pengolahan susu justru menolak susu dari peternak.
“Beberapa anggota GKSI melaporkan bahwa susu mereka tidak terserap akibat penurunan penjualan di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ungkap Dedi.
Nah masalahnya, produk susu sangat mudah rusak. Ketika susu tidak terserap, maka dalam 24 jam, susu itu sudahbisa dipastikan rusak kualitasnya. Jika kondisi itu terjadi, peternak dan koperasi sebagai pengepul susunya akan merugi. Di sisi lain, tidak banyak koperasi yang melakukan diversifikasi distribusi selain ke industri pengolahan susu.
Dus, Dedi meminta pemerintah segera membuat aturan soal kewajiban industri menyerap susu domestik. Hal ini harus dilakukan, sebab selama 26 tahun pelaku industri susu tidak mendapat perlindungan. “Saya dengar draft (aturan) sedang dibuat dan menunggu ditandatangani presiden, saatnya diberlakukan,” kata Dedi.
Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian dalam rapat koordinasi yang digelar dengan perwakilan industri, peternak, importir dan pemangku kepentingan pada Selasa (11/11) telah membuat keputusan untuk memberlakukan aturan wajib menyerap susu peternak lokal. Adapun impor boleh dilakukan usai industri menyerap produksi peternak.
Amran juga mendorong agar pemerintah dan industri turun langsung membina peternak lokal dalam meningkatkan kualitas produksi susu nasional. Ia bilang, pelaku industri pengolahan susu harus menaati hal ini agar izin impornya tidak dicabut. “Industri dan peternak harus bisa tumbuh bersama,” kata Amran.
Terkait sikap pemerintah itu, salah satu industri pengolahan susu PT Cisaruan Mountain Dairy Tbk (Cimory) menyambutnya dengan tangan terbuka. “Sejak awal didirikan, Cimory berkomitmen bersama dengan pemangku kepentingan, termasuk salah satunya dengan para peternak sapi lokal,” ujar Dinar Primasari, Sekretaris Perusahaan Cimory.
Sejauh ini, Cimory sudah menggandeng 20-30 koperasi dengan jumlah mitra peternak mencapai 10.000 peternak. Cimory juga melakukan pendampingan ke peternak sapi dan memberikan pemahaman literasi keuangan, kewirausahaan dan literasi digital. Makan siang bergizi Dari sisi permintaan susu di
masa yang akan datang, Teguh bilang, program makan siang dan susu gratis bagi anak usia sekolah dasar dan ibu hamil akan melecut kebutuhan susu nasional. Hal ini harus dibarengi dengan produksi susu nasional yang lebih baik
Asal tahu saja, produksi susu nasional belum mencapai 1 juta ton, sementara kebutuhannya 4 juta ton setahun. Lambatnya produksi susu segar disebabkan sistem peternakan rakyat yang hanya memiliki dua hingga empat ekor sapi saja.
Untuk mengejar kenaikan produksi, mau tak mau populasi harus ditambah dengan impor sapi perah dan didistribusikan ke peternak. Yang tak kalah penting, ketersediaan lahan dan pakan juga perlu disiapkan.
Dedi menyarankan pemerintah mengajak investor meningkatkan populasi sapinya dengan cara bekerjasama dengan koperasi atau peternak lokal. Selain itu, penting melakukan reproduksi guna regenerasi sapi perah yang sudah uzur.
Salah satunya dengan menggunakan semen sexing atau kawin suntik dengan inseminasi buatan agar menghasilkan keturunan unggul. Asal tahu saja, metode semen sexing dianggap mampu meningkatkan populasi sapi betina, karena metode ini memiliki tingkat kesuksesan 80% melahirkan sapi betina produktif. Hal ini bisa dilakukan sembari mengejar kenaikan produksi lewat impor sapi.
Aun Gunawan, Ketua Umum Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan bilang, perlu ada insentif untuk menambah produksi sapi. Bentuknya adalah akses permodalan atau subsidi.
Saat ini harga sapi perah dewasa berkisar Rp 50 juta, sementara peternak hanya bisa membeli di kisaran harga Rp 25 juta. Bila gap ini bisa dijembatani, maka minat peternak menambah sapi akan tumbuh.
Aun bilang, pilihan yang tepat adalah insentif permodalan atau subsidi. Sebab jika mengandalkan big farm maka manfaatnya sangat minim ke peternak. “Kami tak mau bantuan sosial (bansos) atau sapinya dikasih, karena ini akan banyak masalah. Belum lagi masalah jika peternak yang dikasih sapi bansos sebulan kemudian malah menjual sapinya,” kata Aun.
KPBS Pangalengan berharap pemerintah konsisten mengejar cita-cita swasembada susu untuk memuluskan program strategis maka siang dan susu gratis. Namun untuk mencapai target, Aun berharap pemerintah melibatkan mereka.
Saat ini, peternak KPBS memiliki 2-3 ekor sapi, padahal idealnya setiap peternak memiliki 6 ekor sapi. Untuk meningkatkan produksi, tidak hanya bibit dan populasi saja tetapi juga soal pakan. Maka itu, Aun mendesak pemerintah memanfaatkan lahan terlantar untuk lahan pakan ternak sapi.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply