Revisi UU Pengampunan Pajak masuk prioritas DPR, tax amnesty bisa bergulir ke jilid III
Mengejutkan memang! Di tengah tuntutan pembatalan berlakunya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, munvul lagi rencana baru kebijakan pajak.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggulirkan lagi program pengampunan pajak alias Tax Amensty. Gerak cepat dilakukan dengan kesepakatan parlemen, Selasa (19/11) atas Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak sebagai beleid Program Legislasi Nasional (Prolegnas) alias menjadi RUU Prioritas di 2025.
Tanpa angin tanpa hujan, reivisi UU bahkan menjadi prioritas di tahun depan. “Pembahasan Tax Amnesty bersama pemerintah kemungkinan akan dimulai tahun depan,” sebut Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, Selasa (19/11). Lanjut Misbakhun, tahun perpajakan (cut off) pengampunan pajak adalah tahun 2024.
Meski revisi ini usul Komisi XI, Misbakhun mengaku, parlemen belum menyusun substansi RUU itu. Pembahasan akan dilakukan dengan pemerintah, termasuk penentuan sektor yang dapat pengampunan, perlindungan, hingga mekanisme tax amnesty.
Catatan KONTAN, pemerintahan Joko Widodo dua kali menggulirkan kebijakan ini. Tahap pertama, tax amnesty yang dilaksanakan Juni 2016 hingga 31 Maret 2017. Kedua, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang dilaksanakan pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Era pemerintahan Jokowi, dalam kurun waktu enam tahun berkuasa sudah dua kali memberikan pengampunan pajak bagi wajib pajak.
Kedua program memang berhasil membawa dana terparkir di luarnegeri. Hanya, kebijakan ini nyatanya belum mampu mendongkrak rasio perpajakan (tax ratio). (lihat grafik)




Bergulirnya rencana tax amnesty ini disinyalir karena pemerintahan baru membutuhkan dana untuk membiayai program, termasuk kebutuhan pembayaran utang jatuh tempo5 tahun ke depan.
Apalagi, sebelumnya Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut ada potensi penerimaan negara dari underground economy, termasuk dari judi online. Hanya Wamenkeu tak menjawab telepon dan pesan pendek KONTAN terkait rencana itu.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai tax amnesty baru akan mencederai rasa keadilan wajib pajak patuh. Ini juga berisiko merusak upaya penegakan kewajiban pajak. Apalagi, kebijakan pengampunan pajak digulirkan saat kenaikan tarif PPN 12% di tahun depan. “Rakyat pasti murka,” kata Fajry ke KONTAN, kemarin.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai, pemerintah sebaiknya tak melanjutkan program tax amnesty, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Jika dilakukan, “Program ini bisa jadi bumerang pemerintah. Kredibilitas pemerintah turun di masyarakat,” sebut Ariawan. Tax Amnesty yang kembali digulirkan juga menunjukkan inkonsistensi kebijakan yang merusak kepercayaan wajib pajak terhadap pemerintah.
Pengulangan program tax amnesty akan menimbulkan persepsi bahwa Indonesia merupakan negara gagal karena dianggap tidak mampu menegakkan hukum dan sistem administrasi perpajakan di negaranya sendiri.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan, tax amnesty justru berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak, terutama konglomerat nakal karena akan ada selalu pengampunan lagi. “Moral hazard-nya besar,” sebut Bhima.
Apalagi, saat bersamaan, pemerintah ingin menggaruk pajak dari kebijakan 12%. Tapi di sisi lain, pemerintah malah memfasilitasi wajib pajak kaya nakal. Pertanyaanya:”Di mana letak keadilan pajaknya,” ujar Bhima

Sumber : Harian Kontan, Rabu 20 November 2024, Hal 1
Leave a Reply