Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 diproyeksikan akan meningkatkan penerimaan negara hingga Rp 75 triliun. Di sisi lain, pemerintah juga akan meluncurkan program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid III di tahun yang sama.
Namun, kombinasi kedua kebijakan ini dikhawatirkan dapat memberikan dampak buruk dalam jangka panjang dan menghambat proses reformasi perpajakan.
Pemerintah menargetkan penerimaan pajak 2025 mencapai Rp 2.189,3 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) diproyeksikan menyumbang Rp 945,1 triliun, meningkat 13,32 persen dibandingkan outlook realisasi 2024 sebesar Rp 819,2 triliun.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky mengatakan, meskipun kenaikan tarif PPN diharapkan dapat membantu mencapai target tersebut, kenyataannya peningkatan ini mungkin tidak cukup.
“Kenaikan PPN berpotensi menekan aktivitas ekonomi, sehingga tambahan Rp 75 triliun yang diharapkan mungkin sulit terealisasi,” ujar Awalil, Rabu (27/11/2024).
Awalil juga mengkritisi langkah pemerintah yang mengandalkan kenaikan PPN bersamaan dengan penerapan tax amnesty untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Berdasarkan estimasi Bright Institute, tax amnesty jilid III berpotensi menyumbang sekitar Rp 80 triliun. Namun, penggunaan tax amnesty sebagai alat untuk mengejar penerimaan jangka pendek dinilai menyimpang dari tujuan awalnya, yaitu memetakan wajib pajak untuk meningkatkan kepatuhan di masa mendatang.
“Tax amnesty sebelumnya, baik jilid I maupun II, gagal mencapai tujuan utama untuk memperkuat profil wajib pajak. Kini, kebijakan ini malah digunakan lagi untuk mengejar pendapatan dalam situasi keuangan negara yang mendesak. Ini sangat merugikan reformasi perpajakan,” jelasnya.
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana, menyayangkan pendekatan pemerintah yang menambah beban pajak melalui kenaikan PPN 12 persen, sekaligus memberikan pengampunan pajak. Ia menilai langkah ini mencerminkan kesulitan pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
“Kondisi ini sangat berlawanan dengan optimisme tahun lalu, ketika pemerintah menyebut rasio utang Indonesia masih aman. Namun sekarang, kebijakan utang baru bahkan menjadi salah satu yang terbesar sejak masa pandemi,” kata Andri.
Ia menambahkan, penggunaan tax amnesty berulang kali bisa menciptakan persepsi bahwa pengemplang pajak dapat menunggu pengampunan berikutnya.
“Jika tax amnesty terus diulangi, akan muncul pola pikir bahwa pemerintah akan selalu memberikan pengampunan setiap kali menghadapi kesulitan keuangan. Ini sangat berbahaya bagi keberlanjutan kebijakan fiskal,” tegas Andri.
Ke depan, selain tax amnesty dan kenaikan PPN 12 persen, diperlukan kebijakan yang lebih terarah untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan keberlanjutan reformasi perpajakan.
Sumber : Beritasatu.com
Leave a Reply