Teliti Belanja Perpajakan Agar Tepat Sasaran

JAKARTA. Tak melulu lewat kebijakan tarif, pemerintah masih punya cara lain untuk mengamankan pundi-pundi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Salah satunya, mengevaluasi anggaran belanja perpajakan alias tax expenditure.

Dalam APBN 2025, proyeksi belanja perpajakan mencapai Rp 445,5 triliun, naik 11,4% dibanding asumsi belanja perpajakan 2024 sebesar Rp 399,9 triliun. Meski naik signifikan, belanja perpajakan yang digelontorkan pemerintah selama ini, dinilai masih belum memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian.

Memang, belanja perpajakan terbesar masih berasal dari kebijakan pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN) hingga insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Tahun depan, lebih dari separuh belanja perpajakan untuk dua jenis pajak itu, tepatnya mencapai Rp 256,6 triliun.

Disusul belanja perpajakan pajak penghasilan (PPh) yang mencapai Rp 144,7 triliun. Di antaranya, pemerintah berikan melalui insentif tax holiday dan tax allowance untuk sejumlah sektor usaha. Meski beberapa tahun belakangan, insentif ini juga sepi peminat.

Menurut Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, pemerintah perlu mengevaluasi belanja perpajakan sebagai bagian dari penyusunan APBN. Pasalnya, tak hanya penerimaan negara, belanja perpajakan juga berdampak ke pencapaian target pembangunan pemerintah.

“Terlepas dari besar atau kecilnya pertumbuhan belanja perpajakan, evaluasi tetap harus dilakukan,” kata Wahyu, Jumat (27/12).

Sektor industri pengolahan masih mendominasi struktur belanja perpajakan 2025, dengan alokasi mencapai Rp 122,3 triliun atau 27,45%. Angka ini lebih tinggi dibanding porsi 2024 sebesar 26,93% dan 2023 sebesar 25,30%.

Namun, Wahyu juga menyoroti perlunya pemerintah memperluas insentif ke sektor lain. Salah satunya, perdagangan, yang dinilai memiliki efek besar ke daya beli masyarakat. Apalagi, ada kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

“Sektor perdagangan bisa berdampak pada daya beli masyarakat, yang mulai 1 Januari 2025 akan mendapat tambahan beban perpajakan karena kenaikan tarif PPN menjadi 12%,” ujar Wahyu.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, dalam rancangan awal, pemerintah mengharapkan sektor yang menerima tax holiday memberikan kompensasi dalam bentuk penerimaan pajak di pos lain dalam jangka pendek hingga menengah. “Ini yang harus diukur, apakah kompensasi sudah dicapai atau belum,” sebutnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai, pemerintah perlu mengalihkan insentif tax holiday dan tax allowance dari sektor hilirisasi ke sektor padat karya yang saat ini tengah mengalami tekanan, seperti alas kaki. Juga, untuk sektor yang melakukan transfer teknologi, bukan hanya olahan primer saja.

“Belanja perpajakan untuk yang industri juga harus memperhatikan kewajiban menyerap tenaga kerja lokal dan menyerap produk UMKM dalam rantai pasok mereka,” tegas Bhima kemarin (27/12).

Ia memperkirakan, jika belanja perpajakan tepat sasaran, maka tax ratio yang saat ini sekitar 10% dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5%, akan terungkit. Alhasil, pemerintah juga tak perlu repot menggunakan kebijakan tarif pajak untuk mengerek pendapatan.

Tapi, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat, ada tantangan besar jika ingin mengevaluasi belanja perpajakan. “Meski kebijakan yang akan diambil, karena ada distrust, rencana kebijakan itu akan mengalami banyak penolakan,” ucapnya.

Sumber : Harian Kontan Sabtu 28 Desember 2024 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only