Waspada PHK Massal Bisa Berlanjut Tahun Depan

JAKARTA. Pemutusan hubungan kerja (PHK) cukup marak tahun ini, yang antara lain dipicu banjir produk impor berharga murah sehingga memukul industri. Bahkan PHK massal diprediksi berlanjut tahun depan. Pemantiknya, efek ganda kenaikan upah minimum (UMP) sebesar 6,5% dan penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer mengatakan, telah ada sekitar 80.000 pekerja yang menjadi korban PHK sejak Januari sampai awal Desember 2024. “Total PHK tahun ini mencapai 80.000-an,” ujar dia, awal pekan ini. 

Angka PHK tahun 2024 lebih tinggi dibandingkan 2023. Berdasarkan data Kemenaker, pada periode Januari-Desember 2023, ada 64.855 orang tenaga kerja yang ter-PHK.

Immanuel menyebutkan salah satu faktor banyaknya PHK tahun ini adalah penerapan Peraturan Menteri Perdagangan  No. 8/2024 tentang kebijakan dan pengaturan impor dan impor barang jadi. Oleh sebab itu, Kemnaker berharap Permendag 8/2024 direvisi. Tak cuma itu, dia mengaku telah menerima informasi 60 perusahaan yang tutup, melakukan PHK dan merumahkan tenaga kerja. Meski begitu, belum ada data pasti terkait jumlah PHK di 60 perusahaan tersebut.

Direktur Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial (KPPHI) Kemnaker, Heru Widianto menambahkan, Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit yang keanggotaannya pengusaha, pekerja dan pemerintah telah menggelar rapat terkait penyebab PHK.

Hasil kesepakatan bersama dalam rapat LKS Tripartit nasional adalah penyempurnaan atau revisi Permendag 8/2024. Heru menambahkan, PHK terjadi dari berbagai macam sektor dan sebab. Di antaranya, ada pekerja yang terkena PHK dan kembali bekerja di perusahaan lain. Meski begitu, Heru mengklaim, jumlah kesempatan kerja lebih banyak ketimbang jumlah PHK. 

Sejatinya, banjir produk impor legal berharga murah ditambah impor ilegal akibat penerapan Permendag 8/2024 banyak dikeluhkan para pelaku usaha. Kini, pengusaha menghadapi tantangan lain. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan, kenaikan upah minimum provinsi 2025 sebesar 6,5% dan penerapan tarif PPN 12% pada awal Januari 2025 menambah beban ganda bagi industri.

Opsi PHK

Dalam beberapa kesempatan, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam menyebutkan, kondisi ketenagakerjaan pada tahun depan menjadi perhatian serius bagi pelaku usaha. Sebab, jika pada akhirnya dunia usaha tidak mampu mengakomodasi kenaikan upah minimum dan efek PPN 12%, maka dunia usaha akan mempertimbangkan beberapa pendekatan.

Pertama, mengajukan keberatan atas kenaikan upah minimum. “Kedua, melakukan efisiensi atau pemutusan hubungan kerja. Kenaikan upah yang tidak didasarkan pada perhitungan yang transparan dan jelas, dikhawatirkan dapat meningkatkan beban biaya perusahaan,” kata dia. Opsi ketiga, pelaku usaha akan menunda rencana investasi.

Pengamat Ketenagakerjaan Tajudin Nur Efendy menyebutkan, potensi PHK terutama di sektor padat karya pada 2025 tak bisa dihindarkan. Pemantiknya, kenaikan upah minimum yang cukup tinggi dibarengi pemberlakuan tarif PPN 12%. Di sisi lain, daya beli menurun. Sementara kinerja produk tekstil dan pakaian jadi juga melemah tertekan produk impor. 

“Apindo dan Kadin sudah wanti-wanti adanya kenaikan upah minimum 6,5% dan pemberlakuan PPN 12% bisa membuka opsi efisiensi atau PHK untuk menjaga keuangan perusahaan,” papar dia. 

Sumber : Harian Kontan Jumat 27 Desember 2024 hal 14

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only