Eksekusi proyek sistem administrasi perpajakan Coretax DJP dinilai tergesa-gesa.
Jauh panggang dari api. Ungkapan ini menggambarkan Coretax DJP, yang digadang-gadang sebagai sistem administrasi perpajakan canggih. Bukannya mempermudah urusan wajib pajak, Coretax DJP justru dikeluhkan lantaran gagal fungsi alias bug, sehingga menghambat kelancaran administrasi perpajakan. Padahal pengadaan proyek ini menelan dana yang tak sedikit, dengan total pagu Rp 2,17 triliun (lihat tabel).
Sejak meluncur pada 1 Januari 2025, wajib pajak mengalami kesulitan mengakses layanan, menghadapi respons sistem yang lamban, hingga eror yang menyebabkan terganggunya aktivitas dunia usaha. Keluhan ini semakin memperburuk citra proyek Coretax yang dikerjakan oleh PT LG CNS. Perusahaan ini sebelumnya sempat tersandung terkait paten.
Merujuk laporan Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) yang diterima KONTAN, LG CNS pernah menghadapi kasus pelanggaran paten terhadap PT Prasimax Inovasi Teknologi terkait sistem pajak berbasis digital.
Prasimax mengembangkan sistem pajak online dan mendaftarkan patennya sejak 2011. Namun pada 2013, LG CNS diduga menerapkan teknologi serupa di proyek pajak online DKI Jakarta tanpa lisensi dari pemilik paten asli.
Prasimax sempat mengirimkan peringatan kepada LG CNS. Namun perusahaan itu menolak mengakui pelanggaran dengan alasan paten Prasimax belum resmi disahkan kala itu. Setelah melalui proses panjang, paten milik Prasimax akhirnya resmi diberikan pada 2016 dengan nomor IDP000043111.
Meski memiliki rekam jejak kontroversial, LG CNS dipercaya pemerintah untuk menangani proyek Coretax yang menghabiskan anggaran triliun rupiah.
Atas hal ini, KONTAN menghubungi Iwan Djuniardi, Manajer Proyeksi Tim Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) alias Coretax, yang juga merupakan Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Namun hingga tadi malam, Iwan belum menjawab. Pun dengan pihak LG CNS yang belum merespons.
Ketua Umum IWPI Rinto Setiyawan mengatakan, permasalahan utama Coretax DJP terletak pada dua pihak, yaitu pemilik proses bisnis Ditjen Pajak dan vendor implementornya, yakni konsorsium LG CNS-Qualysoft Consortium. Menurut dia, proyek ini merupakan sistem commersial off the-shelf (COTS) atau perangkat lunak siap pakai, yang seharusnya sudah terbukti berjalan dan dapat diterapkan luas pada skala nasional negara mana pun.
Hanya saja, menurut Rinto, tolok ukur sistem perpajakan yang digunakan konsorsium berasal dari Austria. Padahal negara itu memiliki jumlah penduduk dan wajib pajak lebih sedikit, serta regulasi perpajakan yang jauh lebih sederhana ketimbang Indonesia.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah sistem itu benar-benar dapat disesuaikan dengan kompleksitas perpajakan Indonesia?
Sebelumnya, IWPI juga telah melaporkan dugaan korupsi megaproyek Coretax DJP kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). IWPI telah menyerahkan sejumlah bukti dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Coretax DJP tahun anggaran 2020-2024.
Salah satu aspek yang memicu pertanyaan adalah keterlibatan 169 pegawai Kemkeu di proyek itu, sesuai Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 483/KMK.03/2020. Menurut Rinto, dengan jumlah personel cukup besar, seharusnya sistem ini berjalan lancar dan efisien.
Namun kenyataannya, banyak gagal fungsi (bug) dan kesalahan teknis masih terjadi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pengelolaan sumber daya dalam proyek megah ini.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai, proyek itu dieksekusi dengan tergesa-gesa tanpa tahapan matang alias kejar tayang. Ia berharap ada evaluasi serius terhadap sistem perpajakan ini, termasuk audit menyeluruh terhadap pengadaan dan implementasinya.
Bahkan ia menyarankan agar pemerintah menunda pembayaran terlebih dulu kepada pihak pengembang. “Karena ini sebuah kesalahan mereka juga untuk menghasilkan Coretax,” kata Heru.
Sumber : Harian Kontan Kamis 30 Januari 2025 hal 2
Leave a Reply