Restitusi Pajak di Awal Tahun Membengkak

Realisasi pengembalian pajak hingga akhir Februari 2025 Rp 111,04 triliun

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kementerian keuangan (kemenkeu) mencatat realisasi pengembalian pajak atau restitusi pajak mengalami lonjakan hingga Februari 2025.

Direktur penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat ditjen pajak dwi astuti mengatakan bahwa realisasi restitusi pajak hingga februari 2025 mencapai Rp 111,04 triliun. Jika mengacu data kontan, angka ini mengalami peningkatan 93,11% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya Rp 57,5 triliun.

Secara agregat total realisasi restitusi sampai 28 Februari 2025 sebesar Rp 111,04 triliun,”ujar dwi kepada kontan, jumat (14/03).

Berdasarkan jenis pajaknya, realisasi restitusi pajaak tersebut didominasi oleh restitusi pajak pertambahan nilai dalam negeri (ppn dn) sebesar Rp 86,31 triliun. Selain itu, restitusi juga didominasi restitusi pajak penghasilan (pph) pasal 25/29 badan sebesar Rp 22,96 triliun.

Sementara menurut sumbernya, restitusi didominasi oleh restitusi normal Rp 70,92 triliun, restitusi dipercepat Rp 35,16 triliun, dan restitusi upaya hukum Rp 4,97 triliun.

Pengamat Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menilai, lon
jakan restitusi pajak menunjukkan semakin banyak perusahaan yang mengajukan pengembalian pajak akibat kelebihan pembayaran yang terjadi di tahun sebelumnya.

Perlu mencari alternatif pengganti lonjakan restitusi.

Hal ini lantaran perlambatan ekonomi, penurunan harga komoditas, serta tekanan likuiditas bisnis.

“Pemerintah perlu mengantisipasi lonjakan ini dengan memastikan penerimaan pajak bruto tetap kuat agar restitusi yang naik tidak mengganggu stabilitas fiskal dan pencapaian target penerimaan negara,” ujar Syafruddin kepada KONTAN, Minggu (16/3).

Ia mengatakan, restitusi PPN DN terjadi karena peroleh restitusi normal Rp 70,92 triliun, restitusi dipercepat Rp 35,16 triliun, dan restitusi upaya hukum Rp 4,97 triliun.

Pengamat Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menilai, lon
jakan restitusi pajak menunjukkan semakin banyak perusahaan yang mengajukan pengembalian pajak akibat kelebihan pembayaran yang terjadi di tahun sebelumnya.

Perlu mencari alternatif pengganti lonjakan restitusi.

Hal ini lantaran perlambatan ekonomi, penurunan harga komoditas, serta tekanan likuiditas bisnis.

“Pemerintah perlu mengantisipasi lonjakan ini dengan memastikan penerimaan pajak bruto tetap kuat agar restitusi yang naik tidak mengganggu stabilitas fiskal dan pencapaian target penerimaan negara,” ujar Syafruddin kepada KONTAN, Minggu (16/3).

Ia mengatakan, restitusi PPN DN terjadi karena perusahaan yang melakukan banyak transaksi, memiliki pajak masukan lebih besar dibandingkan pajak keluaran, terutama dalam kondisi ekonomi yang melemah.

Sementara restitusi PPh badan, mencerminkan proyeksi laba yang tidak sesuai dengan realisasi aktual, sehingga pajak yang dibayarkan lebih besar dari kewajiban sebenarnya.

“Tren ini mengindikasikan tekanan keuangan di dunia usaha,” tambah Syafruddin.

Menggerus penerimaan Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman mengatakan, tren ekonomi sejak 2021 menjadi faktor utama dalam fenomena restitusi pajak di awal tahun 2025.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 hanya mencapai 3,69%. Kemudian, di tahun 2022 mengalami peningkatan signifikan menjadi 5,31%. Namun, di tahun 2023 kembali mengalami perlambatan menjadi hanya 5,05%.

Raden menjelaskan, penghasilan neto tahun pajak 2022 menjadi acuan bagi perhitung an PPh Pasal 25 tahun pajak 2023. PPh Pasal 25 dihitung dengan asumsi bahwa laba bersih perusahaan di tahun 2023 sama seperti di tahun 2022. Namun, realisasi menunjukkan bahwa laba bersih pada 2023 menurun.

“Karena laba bersih di tahun 2023 turun, maka laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2023 lebih bayar. SPT Tahunan ini dilaporkan pada awal tahun 2024, kemudian akan diperiksa oleh kantor pajak,” kata Raden.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono juga memperkirakan bahwa lonjakan restitusi pajak akan berdampak pada target penerimaan pajak di 2025. Sebab itu, pemerintah perlu mencari alternatif untuk mengganti lonjakan restitusi tersebut dengan kegiatan intensifikasi.

Misalnya, penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan. Keduanya menargetkan ada peningkatan setoran pajak karena wajib pajak mengakui potensi pajak yang dihitung oleh fiskus.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only