Pemerintah harus diversifikasi PNBP agar tak bergantung pada komoditas global
Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat realisasi pénerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga akhir Februari hanya mencapai Rp 76,4 triliun. Angka ini, setara 14,9% dari target dalam anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Setoran PNBP di dua bulan pertama tahun ini juga tercatat turun 4,5% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, sebesar Rp 80 triliun. “Realisasi PNBP semuanya konsisten dengan kondisi ekonomi,” ujar Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Kamis (14/3).
Anggito memerinci, PNBP sumber daya alam (SDA) migas hanya terkumpul Rp 17,5 triliun, atau turun 1,7%. Ini dipengaruhi oleh penurunan harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) serta lifting gas bumi akibat penyusutan produksi.
PNBP SDA nonmigas tercatat Rp 16,3 triliun, atau turun 7,2%, dipengaruhi oleh penurunan harga dan produksi batubara. Begitu juga dengan PNBP lainnya yang hanya terkumpul Rp 23,3 triliun, turun 16%, lantaran penurunan penjualan hasil tambang akibat turunnya harga komoditas dan produksi batubara, serta penurunan PNBP kementerian dan lembaga (K/L). Sementara itu, PNBP Badan Layanan Umum (BLU) hanya terealisasi Rp 8,4 triliun, turun 16,9% yang dipengaruhi oleh penurunan tarif pungútan ekspor kelapa sawit.
Di sisi lain, pos PNBP dari kekayaan negara dipisahkan (KND) tercatat Rp 10,9 triliun. Ini satu-satunya jenis PNBP yang mengalami pertumbuhan, yakni sebesar 12,1%. Kenaikan ini karena adanya peningkatan setoran dividen interim dari badan usaha milik negara (BUMN) perbankan.
Pemerintah dalam APBN 2025 menargetkan setoran PNBP sebesar 513,6 triliun. Angka ini, turun dibanding realisasi tahun 2024 yang tercatat sebesar Rp 579,5 triliun.
Meski demikian, menurut Anggito, pemerintah akan tetap mengoptimalkan PNBP tahun ini. Pemerintah akan Jika hanya tergantung komoditas, PNBP sulit topang APBN atas. Beberapa di antaranya untuk sektor imigrasi hingga kepolisian.
Optimalkan aset
Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menilai, PNBP sangat bergantung pada harga komoditas, dividen BUMN dan layanan publik. Saat ini, harga batubara, minyak dan nikel mengalami koreksi, sehingga royalti dari sektor pertambangan dan energi pun melemah.
Selain itu, dividen BUMN kemungkinan juga akan lebih rendah akbat tekanan profitabilitas di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih.
Syafruddin menegaskan, tanpa terobosan signifikan dalam diversifikasi PNBP, gap penerimaan negara akan tetap besar. Sebab itu, ia menilai, pertama, pemerintah perlu mengoptimalkan pemanfaatan aset negara yang belum produktif, seperti lahan, bangunan dan infrastruktur, yang bisa disewakan atau dikelola secara lebih efisien untuk menaikkan pendapatan.
Kedua, pemerintah harus memperketat pengawasan dan kepatuhan terhadap pembayaran royalti serta dividen BUMN. Ketiga, pemerintah perlu mempercepat eksplorasi dan hilirisasi sektor sumber daya alam agar nilai tambah dari PNBP meningkat.
Jika pemerintah hanya bergantung pada harga komoditas global, maka penerimaan PNBP akan tetap berfluktuasi dan sulit diandalkan sebagai penopang utama APBN.
Sumber : tempo.co
Leave a Reply