Banyak pekerja yang terkena PHK menyebabkan banyak wajib pajak merasa tak perlu lapor SPT
Penurunan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) tidak bisa dianggap remeh. Bahkan sejumlah ekonom menyebut, ini perlu menjadi perhatian pemerintah, karena menjadi sinyal bahaya bagi kestabilan fiskal negara.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo menyampaikan, reali sasi pelaporan SPT Tahunan PPh OP per 30 April 2025 mencapai 12,99 juta. Angka ini terkontraksi 1,21% secara tahunan. Pada periode yang sama pada tahun lalu, pelaporan SPT WP OP mencapai 13,15 juta. “SPT WP OP mengalami penurunan sedikit di 1,21%,” ujar dia, Rabu (7/5).
Hanya saja, Suryo menyampaikan, Ditjen Pajak belum memetakan faktor-faktor yang menyebabkan kontraksi tersebut. “Ini sedang kami teliti lebih lanjut terkait pertumbuhan negatif ini,” kilah dia Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai penurunan pelaporan SPT Tahunan oleh WP OP sebesar 1,21% dinilai sebagai indikasi
masalah struktural dalam sistem kepatuhan pajak nasional. Padahal, Ditjen Pajak telah memberikan relaksasi berupa perpanjangan batas waktu pelaporan hingga 1l April 2025. “Perpanjangan waktu pelaporan seharusnya mampu mendorong peningkatan partisipasi, tetapi hasilnya justru negatif,” ujar dia.
Menurut Syafruddin, relaksasi administratif seperti per
panjangan tenggat waktu pelaporan seharusnya mendorong peningkatan kepatuhan. Namun, hasilnya ternyata masih negatif.
Berkurangnya pelaporan SPT WP OP akan mempengaruhi penerimaan.
“Wajib pajak mungkin menghadapi hambatan teknis, minim literasi digital atau ketidakjelasan komunikasi dari otoritas mengenai perubahan i sistem dan batas waktu,” kata dia. Selain itu, rasa urgensi berkurang akibat lemahnya penegakan hukum pajak. Pihak pajak cukup toleran terhadap keterlambatan.
Efek PHK
Selain itu, melonjaknya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) selama setahun terakhir turut mengurangi jumlah individu yang merasa perlu melapor. Banyak dari wajib pajak yang kehilangan penghasilan tetap merasa tidak lagi wajib melapor SPT.
“Pemerintah perlu menjawab tantangan ini secara simultan, menyempurnakan sistem digital dan memperluas jangkauan edukasi fiskal, terutama pada kelompok rentan terdampak PHK,” kata Syafruddin.
Pasalnya, menurut Syafruddin, berkurangnya pelaporan SPT WP OP akan mempengaruhi penerimaan negara. Sebab pelaporan SPT juga menjadi basis koreksi dan verifikasi potensi pajak belum terbayar. Ketika WP OP tidak melapor, negara kehilangan kesempatan untuk menghimpun PPh secara optimal.
Meskipun sebagian besar WP OP adalah karyawan dengan sistem pemotongan langsung (withholding tax), pelaporan tetap penting untuk menghindari kesalahan dan potensi restitusi palsu. “Penurunan pelaporan SPT WP OP juga mengganggu proyeksi fiskal tahunan karena DJP kehilangan data penghitungan tax gap,” ujar Syafruddin.
Syafruddin menilai perlu ada integrasi data agar potensi pajak dari WP OP tidak terus menyusut.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga menilai, tingkat kepatuhan formal WP OP menurun karena jumlah tenaga kerja yang terkena PHK. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK pada tahun 2024meningkat 20,71% dibandingkan tahun sebelumnya, atau sekitar 77.965 orang.
Di awal tahun 2025 juga terjadi lonjakan PHK, per bu lan Februari 2025 saja ad IS.610 tenaga kerja yang terkena PHK,” kata Fajry. Sejatinya, peningkatan PHK belum tentu berdampak negatif terhadap penerimaan pajak.
Ada faktor lain yang bisa memberi dorongan terhadap penerimaan negara, misalnya kenaikan upah atau gaji. “Selain itu, dampak ke nominal atau pertumbuhan penerimaan lebih dipengaruhi jumlah wajib pajak dibanding rasio kepatuhan,” ujar Fajry.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply