Angka tax buoyancy Indonesia 2024 turun ke bawah 1 dan jadi negatif di kuartal I-2025
Merosotnya kinerja penerimaan pajak di awal tahun ini jadi lampu kuning bagi pemerintah. Ternyata daya pungut pajak di Indonesia juga semakin rendah.
Ini tercermin dari angka tax buoyncy atau rasio antara pertumbuhan penerimaan pajak terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Angka tax buoyancy Indonesia memang mengalami tren penurunan dari 1,94 pada 2021 menjadi 1,92 pada 2022.
Di 2023, tax buoyancy Indonesia turun lagi ke angka 1,17 dan hanya mencapai 0,71 pada 2024. Sementara pada kuartal I-2025, tax buoyancy Indonesia berada di level 3,71. Artinya untuk setiap1% pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak justru menyusut lebih dari tiga kali lipat.
Pengamat pajak dari center for indonesia taxation analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, angka tax buoyancy yang berada dibawah 1 berarti penerimaan pajak tumbuh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Ini menyebebkan tax ratio ikut menurun.
“Sebaliknya, jika tax buoyancy lebih dari 1, maka tax ratio akan meningkat,”ujar Fajry, Jumat (16/5).
Ia menjelaskan, perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi faktror utama di balik lemahnya tax buoyancy.”Ketika pertumbuhan ekonomi lebih lambat, penerimaan pajak akan turun lebih dalam”. tambah Fajry.
Ia mencontohkan kondisi tahun lalu, ketika pertumbuhan ekonomi melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut menyebabkan angka tax buoyancy turun hingga je level 1 dan menyebabkan penurunan tax ratio.
Meski begitu, Fajry melihat angka buoyancy yang negatif pada kuartal I 2025 masih bersifat sementara. Ia optimis kinerja pajak akan membaik di bulan bulan berikutnya hingga akhir tahun nanti, sebagaimana yang terjadi tahun lalu.
Kendati begitu, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini yang cenderung lebih rendah, Fajry memperkirakan tax buoyancy teteap akan berada dibawah 1.
Menurut Fajry, untuk memperbaiki kondisi tersebut, diperlukan strategi mendorong pertumbuhan ekonomi agar berdampak positif terhadap penerimaan pajak. Sayangnya, ruang fiskal saat ini sangat terbatas. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah mempertimbangkan kebijakan moneter dan deregulasi sebagai langkah alternatif.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai, rendahnya angka tax buoyancy menunjukan bahwa Ditjen Pajak gagal mengawasi dan mengumpulkan pajak dari pertumbuhan ekonomi. Ini lantaran otorisasi masih terpaku pada data history atau data data masa lalu.
Risiko Masa Lalu
Padahal, menggunakan data masa lalu bisa berisiko. Menurut Raden, bisa jadi wajib pajak yang ditagih saat ini sudah bangkrut atau usahanya sedang turun, sementara tagihan tersebut berdasarkan kinerja masa lalu saat bisnis mereka dalam kondisi baik.
Akibatnya, lanjut Raden, banyak tagihan pajak yang tidak dibayar karena wajib pajak tidak lagi memiliki kemampuan finansial yang salam seperti sebelumnya.
Direktur penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Dwi Astuti menegaskan bahwa pihaknya senantiasa melakukan beberapa langkah untuk meningkatkan angka tax buoyancy Indonesia. Salah satunya, melalui perluasan basis perpajakan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Dwi juga mengatakan, pihaknya mendorong tingkat kepatuhan dengan memandaatkan teknologi dalam sistem perpajakan, memperkuat sinergi antar lembaga, menjalin program bersama (joint program) serta melakukan penegakan hukum secara konsisten.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah mencangkup menjaga efektivitas implementasi reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan perpajakn internasional guna meningkatkan reformasi perpajakan.
“Ditjen pajak juga memberikan insentif perpajakan yang lebih terarah dan terukur untuk mendukung iklim usaha yang sehat dan mendorong transformasi ekonomu bernilai tinggi,”kata Dwi.
Sumber : Harian Kontan Sabtu 17 Mei 2025 hal 2
Leave a Reply