Kinerja penerimaan pajak konsumsi, berupa pajak pertambahan nilai (ppn) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mengalami kontraksi. Ini turut mempengaruhi setoran pajak periode Januari-April yang tercatat negatif.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) melaporkan, penerimaan neto PPN dan PPnBM hingga April 2025 mencapai Rp 175,7 triliun. Angka tersebut turun 19,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dwi Astuti, eks direktur penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat dirjen pajak, yang kini menjabat sebagai Kepala Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II, menjelaskan salah satu faktor utama penyebab kontraksi yakni adanya relaksasi jatuh tempo pembayaran PPN dalam negeri (DN).
Kebijakan ini memberikan kelonggaran waktu bagi wajib pajak untuk menunaikan kewajiban PPN, sehingga berdampak pada pencatatan penerimaan neto di awal tahun.
Meski begitu, Dwi menambahkan bahkan perimaan PPN dan PPnBM secara bruto justru mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 1.1%
Yang jelas, sejak awal tahun pemerintah sudah memutuskan kenaikan tarif ppn menjadi 12% hanya untuk barang mewah. Namun, ihwal kontribusinya terhadapt penerimaan negara,”Masih dalam perhitungan lebih lanjut,”katanya.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajr Akbar mengatakan, kenaikan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah tidak akan mendorong penerimaan PPN secara signifikan. “Hitungan kami hanya RP 1,7 triliun, sedangkan pemerintah sekitar 3 triliun,” ujar Fajry, Minggu (15/6).
Menurut Fajry, faktor dominan yang menyebabkan penerimaan PPN neto tertekan adalah lonjakan restitusi karena pajak masukan melebihi pajak keluaran. Fenomena ini umumnya terjadi saat pelaku usaha melakukan pembelian bahan baku dalam jumlah besar dibandingkan barang yang dijual (hasil produksi) alias front loading. Ini dilakukan pelaku usaha untuk mengantisipasi ketidakpastian global.
Ia juga menyoroti peran pengelolaan kas negara menjelang akhir 2024. Lonjakan belanja negara akibat pelaksanaan pemilu dan pilkada membuat pemerintah perlu menjaga likuiditas pad akhir tahun. Akibatnya, banyak restitusi pajak yang tertunda dan baru cair pada awal 2025.
Direktur Eksekutif IEF Researc Institute Ariawan Rahmat menambahkan daya beli masyarakat yang melemah turut menjadi penyebab kon tarksi setoran pajak. Salah satu indikasinya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2025 turun ke level terendah sejak September 2022.
“Ini juga menunjukan adanya potensi pelemahan daya beli masyarakat yang berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak.”ujar Ariawan
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply