Evaluasi Pembekalan Belanja Perpajakan

Kementerian Keuangan memperkirakan belanja perpajakan 2025 mencapai Rp 515 triliun

Belanja perpajak an tahun ini diproyeksi membengkak. Ini terjadi di tengah tren kontraksi realisasi belanja negara pada periode lima bulan di tahun ini.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) memperkirakan, nilai belanja perpajakan (tax expenditure) di 2025 akan mencapai Rp 515 triliun. Ini setara dengan 2,1% dari produk domestik bruto (PDB).

Angka tersebut naik dibanding proyeksi dalam Buku I Nota Keuangan APBN 2025 yang sebesar Rp 445,5 triliun.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, belanja perpajakan paling banyak dinikmati rumah tangga, yakni lebih dari 54% dari total nilai. Ia menyebut, pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) kebutuhan dasar menjadi penyumbang utama manfaat ini.

“Masyarakat tidak bayar PPN kalau beli bahan pokok makanan. Juga jasa kesehatan tidak ada PPN. Untuk transportasi umum dan jasa pendidikan juga tidak ada PPN,” kata Febrio belum lama ini.

Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga jadi penerima manfaat besar dari kebijakan ini. Febrio menyebut, sekitar 20% belanja perpajakan, atau setara lebih dari Rp 100 triliun, diperkirakan dinikmati langsung oleh UMKM pada tahun ini.

Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, peningkatan belanja perpajakan bukan pertanda buruk. Ini salah satu indikasi positif membaiknya aktivitas ekonomi nasional. Sebab, belanja perpajakan dan aktivitas ekonomi memiliki kaitan erat.

Fajry bilang, semakin banyak insentif atau fasilitas perpajakan yang dimanfaatkan, maka semakin besar pula angka belanja perpajakan. Ia mencontohkan, saat UMKM semakin berkembang, belanja perpajakan atas PPN yang tidak dipungut bagi UMKM juga akan meningkat.

Pun jika konsumsi pangan meningkat, belanja perpajakan dari pos PPN tidak dipungut atas pangan, juga akan membesar.

Meski demikian, Fajry mengingatkan, evaluasi atas belanja perpajakan tetap penting dilakukan. “Jika ada fasilitas atau insentif yang dikira kurang tepat, perlu dievaluasi atau dihapus,” kata dia.

Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman juga menilai perlu ada evaluasi jenis insentif yang selama ini diberikan pemerintah, terutana pembebasan PPN untuk jasa keuangan.

“Pembebasan PPN jasa keuangan hanya dinikmati oleh nara pengusaha,” kata Raden.

Padahal seharusnya, insentif pajak berdampak langsung bagi masyarakat.

Raden juga menekankan evaluasi belanja perpajakan. Terutama, terkait dampaknya terhadap perekonomian.

“Seberapa besar daya dorong insentif pajak bagi pertumbuhan ekonomi, sampai sekarang belum ada yang menghitung,” tandas Raden.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyambut baik naiknya belanja perpajakan. Namun demikian, ia mewanti-wanti, belanja perpajakan harus seimbang dengan efisiensi dan pengelolaan risiko defisit APBN yang dirancang tidak melebihi 2,53% dari PDB.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only