Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai kondisi rasio pajak Indonesia masih berada dalam tren stagnan dan bahkan termasuk rendah. Dari perhitungan Celios tercatat rasio pajak hanya mencapai 7,95% terhadap produk domestik bruto (PDB) kuartal I-2025.
“Kita juga tahu selama beberapa tahun terakhir, bahkan 10-15 tahun terakhir, rasio pajak kita juga tidak mengalami peningkatan yang signifikan,” ucap Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar dalam launching riset di Jakarta pada Selasa (12/8/2025).
Dalam laporan riset bertajuk ‘Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang’, disebutkan bahwa kndisi aktual telah merosot dari kinerja tahun 2024 yang memiliki rasio pajak sebesar 10,8%.
Capaian tersebut terpaut jauh dari target rasio pajak yang sempat dijanjikan sebesar 23%. Bahkan dalam tiga tahun terakhir, persentase penerimaan perpajakan periode Januari-Mei 2025 turun signifikan sebesar 47,4%. Proyeksi penerimaan negara dalam jangka panjang juga memberi sinyal yang kurang menggembirakan.
“Pada saat yang sama kita harus ingat faktor demografi, pertumbuhan populasi, dan juga penurunan pendapatan dari industri ekstraktif juga terus kemudian menggerus potensi penerimaan pajak kita,” tutur Media.
Celios menilai tren rasio pajak Indonesia cenderung stagnan dalam dua dekade terakhir yang menjadi bukti kapasitas pemerintah masih lemah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Ketertinggalan ini menjadi sinyal bahwa Indonesia menghadapi krisis efektivitas fiskal, di mana pertumbuhan ekonomi tidak berkontribusi secara proporsional dalam meningkatkan penerimaan negara.
Padahal bila pemerintah mengenakan pajak progresif kepada korporasi besar dan segelintir orang super kaya, potensi tambahan penerimaan negara dapat mencapai Rp 469 hingga Rp 524 triliun per tahun.
Peneliti Celios, Jaya Darmawan mengatakan, upaya memacu penerimaan negara alternatif tidak hanya dapat menjadi solusi bagi peningkatan penerimaan negara yang signifikan, tetapi juga mampu meningkatkan aspek keadilan fiskal yang menjadi pertanyaan masyarakat luas.
Bahkan, dalam aspek kerusakan lingkungan yang memiliki eksternalitas negatif yang tinggi, terdapat instrumen pajak biodiversity loss yang bisa menekan kehilangan keanekaragaman hayati kita, sekaligus menambah penerimaan pajak hingga Rp 48,6 triliun.
“Pajak progresif di sektor lingkungan juga dapat mengurangi ketimpangan ekonomi yang diproduksi melalui aktivitas ekstraktif yang didominasi orang super kaya, yang mana 56% kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor ekstraktif,” tutur dia.
Sumber : investor.id
Leave a Reply