Penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) masih menjadi tumpuan pemerintah. Pada tahun depan, jenis penerimaan ini ditargetkan tumbuh signifikan.
Menilik Buku II Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, target penerimaan PPN dan PPnBM dipatok mencapai Rp 995,3 triliun. Angka ini tumbuh 11,7% jika dibandingkan dengan outlook 2025 yang sebesar Rp 890,9 triliun.
Dalam dokumen tersebut, pemerintah menjelaskan, target PPN dan PPnBM ini didasarkan pada implementasi reformasi perpajakan serta proyeksi tingkat konsumsi dalam negeri yang tetap solid. Meski demikian, target tersebut cukup tinggi.
Pasalnya, data menunjukkan, realisasi PPN dan PPnBM 2024 hanya sebesar Rp 828,5 triliun, hanya tumbuh 8;5% secara tahunan. Sementara pada semester I-2025, penerimaan jenis ini justru terkontraksi 19,7% secara tahunan.
Pajak konsumsi di semester I hanya mencapai Rp 267,27 triliun. Tekanan terutama datang dari lonjakan restitusi pajak, yang membuat baseline 2025 menjadi rendah.
Pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute TRI Prianto Budi Saptono menilai, kebijakan pajak di Indonesia memang mulai bergeser ke PPN karena minim praktik avoidance. Berbeda dengan sistem pajak penghasilan (PPh) yang kerap terjadi praktik penghindaran pajak.
Menurut Prianto, perencanaan penerimaan pajak selalu didasarkan pertimbangan yang menurut perumus kebijakan sebagai hal yang realitis. Kendati begitu, dengan target penerimaan yang meningkat serta konsumsi dalam negeri yang sudah stabil, Prianto bilang, tidak mustahil tarif PPN yang menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lainnya akan dikondisikan, sehingga tidak berlaku lagi.
Artinya, tarif PPN 12% bisa berlaku tidak hanya untuk barang mewah saja. Jadi, jika kondisi konsumsi di dalam negeri pada tahun 2026 masih sama dengan kondisi di 2025, lanjut Prianto, tarif PPN dengan skema 11/12 seperti sekarang tidak akan berubah.
Akan tetapi, jika faktanya nantinya berbeda, sehingga kondisi ekonomi 2026 lebih baik dari 2025, maka pemerintah tidak akan segan merevisi tarif PPN. “Kondisi demikian merupakan hal normal di setiap perumusan kebijakan dan implementasinya,” kata Prian-to, Senin (18/8).
Tidak ada perubahan
Sementara itu, menurut Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analy sis (CTTA) Fajry Akbar, dalam RAPBN 2026, pemerintah me matok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%. Dengan asumsi tersebut, Fajry menilai target penerimaan PPN dan PPnBM yang naik 11,7% masih realis tis untuk tercapai.
Meski begitu, Fajry meng ingatkan pemerintah agar le bih berhati-hati dalam mene tapkan target. Menurutnya,
ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi di 2026 seharus nya membuat pemerintah le-bih memberi ruang kepada pelaku usaha
“Seharusnya target peneri-maan tumbuh single-digit pada tahun depan. Jika target penerimaan terlalu tinggi dari potensinya, saya takutkan ada yang terjadi malah aggressive tax collection,” kata Fajry.
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemkeu) memas-tikan bahwa tarif PPN sebesar 12% hanya akan tetap berlaku atas penyerangan barang-ba-rang mewah di 2026. Untuk
barang yang bersifat umur atau barang yang tidak terg long mewah maka tarifny masih sebesar 11%
Direktur Jenderal (Dirjer Strategi Ekonomi dan Fisk Kemkeu Febrio Nathan Kac ribu mengatakan, tidak ad perubahan kebijakan tar PPN di tahun depan. Keteta an ini lantaran kebijakan p jak yang sudah diumumka pada 2026 tidak ada perubal an dari tahun ini.
“Kebijakan (pajak) tadi s dah diumumkan bahwa tida ada perubahan kebijakannya ujar Febrio, Jumat (15/8).
Sumber : Harian Kontan, 19 Agustus 2025, Hal 2.
Leave a Reply