Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Nota Keuangan RAPBN 2026 akan membidik pajak dari kelompok orang super kaya alias high wealth individual dan wajib pajak grup atau konglomerasi.
Sebagai informasi, fokus pengawasan terhadap wajib pajak (WP) grup dan high wealth individual (HWI) itu sendiri terungkap dalam Nota Keuangan RAPBN 2026.
Meski demikian, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan pengawasan ke WP grup dan HWK itu sejatinya bukan hal baru. Menurutnya, praktik itu sudah berjalan di Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar dan KPP Madya.
Prianto mengungkapkan bahwa pengawasan WP Grup dan HWI saat ini sudah terintegrasi di empat KPP WP Besar, termasuk yang secara khusus mencakup HWI. Sementara KPP Madya bertugas mengawasi WP besar di masing-masing wilayah.
“Pola kebijakannya, kalau ada WP di KPP Pratama yang bisnisnya berkembang pesat, maka akan dipindahkan ke KPP Madya. Tujuannya untuk mempermudah pengawasan, termasuk menyatukan beberapa wajib pajak dalam satu grup usaha,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Rabu (20/8/2025).
Sebaliknya, WP di KPP Madya yang mengalami penurunan bisnis signifikan dapat dipindahkan ke KPP Pratama. Menurut Prianto, skema pemindahan WP tersebut merupakan praktik yang lazim dalam kerangka compliance risk management (CRM) di seluruh wilayah Indonesia.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia itu menilai bahwa pengawasan makin krusial seiring maraknya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan korporasi grup usaha. Umumnya, strategi efisiensi itu juga menekan beban pajak (tax expenses).
“Pemilik grup usaha biasanya juga HWI sehingga secara alami menjadi prioritas pengawasan Direktorat Jenderal Pajak,” lanjutnya.
Prianto meyakini bahwa fokus pengawasan ke kelompok WP Grup dan HWK tidak dimaksudkan untuk membidik target nominal tertentu. Alasannya, penerimaan negara terbagi dalam berbagai jenis pajak sesuai UU APBN dan peraturan turunannya yang ditetapkan tiap tahun melalui Peraturan Presiden.
Adapun dalam RAPBN 2025, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.347,7 triliun atau naik 13,5% dari outlook APBN 2025.
Berdasarkan jenisnya, pajak penghasilan (PPh) nonmigas ditargetkan naik 15,7% dari Rp997,5 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp1.154,1 triliun (RAPBN 2026). Kenaikan target PPh nonmigas itu menjadi yang tertinggi di antara jenis pajak lain dalam RAPBN 2026.
“Dengan memperhatikan capaian tahun-tahun sebelumnya, proyeksi perekonomian tahun 2026, dan optimalisasi kebijakan teknis perpajakan seperti kegiatan joint program serta peningkatan intensitas pengawasan dengan fokus kepada Wajib Pajak Grup dan High Wealth Individual, penerimaan PPh Nonmigas dalam RAPBN 2026 diproyeksikan sebesar Rp1.154.127,0 miliar,” tertulis dalam Nota Keuangan RAPBN 2026.
Selain itu, PPh migas ditargetkan sebesar Rp55,2 triliun; pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) Rp995,3 triliun; pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp26,1 triliun; serta pajak lainnya Rp126,9 triliun.
Sumber : Bisnis.com
Leave a Reply