Belanja perpajakan direm karena faktor kondisi ekonomi dan untuk mengamankan penerimaan
Wajib pajak harus bersiap. Tahun depan, pemerintah mulai mengerem pemberian insentif perpajakan.
Pasalnya, berdasarkan Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, alokasi belanja perpajakan diperkirakan Rp 563,6 triliun. Secara nominal, angka ini masih menjadi yang tertinggi dibanding lima tahun terakhir. Hanya saja, pertumbuhannya jauh melambat yakni hanya 6,3% year on year (YoY).
Berdasarkan dokumen tersebut, sektor industri pengolahan masih menjadi penyumbang terbesar. dengan estimasi mencapai Rp 141,7 triliun atau sekitar sepertiga dari total belanja perpajakan. Tingginya pemanfaatan di sektor industri pengolahan sebagian besar dimanfaatkan oleh pengusaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar, pembebasan bea masuk untuk kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas serta pembebasan bea masuk untuk barang modal.
Sementara per jenis pajak, belarja perpajakan terbesar untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang diperkirakan sebesar Rp 371,9 triliun atau lebih dari separuh total belanja perpajakan 2026.
Direktur Jenderal (Dirjen) Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, belanja perpajakan yang hanya tumbuh 6,3% di 2026 lantaran pemerintah melihat perekonomian Indonesia pada tahun depan lebih baik dibandingkan tahun ini.
“Kalau aktivitas ekonomi juga meningkat, semakin banyak manfaat dari belanja yang dinikmati masyarakat,”kata Februio, Kamis (21/8).
Selain pertimbangan kondisi ekonomi yang dinilai lebih stabil, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menyebut dua hal yang menyebabkan pertumbuhan belanja perpajakan tahun depan jauh melambat. Pertama, terkait penerapan pajak minimum global.
Wahyu menyebut, pajak minimum global yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136 Tahun 2024, membuat RI tak leluasa lagi memberikan insentif pajak seperti tax holiday atau tax allowance lantaran akan berdampak pada tarif efektif pajak yang dikenakan.
Kedua, tantangan untuk mengejar penerimaan pajak yang tinggi pada tahun depan. Dalam RAPBN 2026, pemerintah mematok target penerimaan pajak tumbuh 13,5% di banding outlook 2025.
Meski begitu, pemerintah juga perlu memberikan fasilitas bagi dunia usaha di luar pajak. Misalnya, kemudahan perizinan, kepastian hukum dan perbaikan administrasi perpajakan melalui Coretax.
Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman melihat, akan ada beberapa insentif yang tidak diperpanjang pemerintah pada tahun 2026. “Ini menandakan optimisme pemerintah di tahun 2026,” kata Raden.
la menilai insentif berupa tax holiday dan tax allowance sudah tidak relevan setelah RI mengadopsi Pilar II pajak minimum global 15%.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply