MEDIA sosial mendadak ramai dengan seruan boikot pajak. Tagar #StopBayarPajak meroket di platform x hingga Instagram, yang menjadi wadah publik melampiaskan kekecewaan terhadap pemerintah.
Warganet menilai uang pajak yang mereka bayarkan justru tidak kembali dalam bentuk pelayanan publik yang memadai. Sebaliknya, pajak lebih banyak digunakan membiayai fasilitas mewah pejabat, aparat hingga tunjangan DPR.
Isu ini kian panas setelah muncul narasi soal tunjangan DPR yang dianggap terlalu besar, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit. Kekecewaan juga mengarah pada aparat, yang dinilai gagal memberi rasa aman pada masyarakat saat demonstrasi berlangsung.
Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan, ini akumulasi kekecewaan publik yang terus berulang dari masa ke masa. Menurut
Ariawan, ini juga krisis kepercayaan publik akibat kasus korupsi, persepsi ketidakadilan, dan kebijakan pemerintah yang kontroversial, sehingga menjadi gerakan digital berulang. Ariawan khawatir ini akan menggoyahkan pilar fiskal negara dalam jangka panjang. Kendati begitu, menurut dia, gerakan boikot pajak di media sosial tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan negara.
Menurut Ariawan, ini karena sistem pemungutan pajak di Indonesia berbasis withholding system. Pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dari karyawan, yang menyumbang aliran penerimaan terbesar, didapat dari potongan langsung oleh pihak ketiga. “Mekanisme ini memastikan aliran penerimaan yang stabil dan relatif kebal terhadap isu ataubgerakan boikot oleh sipil oleh individu,” kata dia.
Berbeda dengan pajak pribadi non-karyawan, memiliki otonomi penuh melaporkan dan membayar pajak. Tapi, kontribusi seperti pengusaha, profesional, dan freelancer, yang segmen ini hanya 0,76%.
Ariawan menekankan, risiko utama gerakan boikot bukan pada potensi kehilangan pendapatan saat ini, melainkan moral pajak jangka panjang. Penurunan kepercayaan publik yang kronis berpotensi meningkatkan biaya penegakan hukum (enforcement cost), mendorong lebih banyak aktivitas ke dalam shadow economy, dan mengancam keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, pemerintah harus merombak beberapa kebijak an di bidang perpajakan yang memberatkan masyarakat. Misalnya merevisi UndangUndang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Uu HPP) terkait pembatasan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) maksimal 11% dan menurunkannya menjadi hanya 8%.
Bhima juga meminta pemerintah memberhentikan tunjangan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi DPR. Dia juga berharap pemerintah menerapkan pajak kekayaan 2% dari total aset orang superkaya. Ini agar pajak tidak hanya menyasar kelompok bawah saja. “Pajak windfall profit sektor batubara juga sebaiknya dimasukkan dalam bagian revisi UU HPP,” kata dia.
Tidak hanya itu, Bhimamenilai RAPBN 2026 juga harus dirombak ulang pada bagian efisiensi angaran dana transfer ke daerah (TKD).
“Stop kenaikan anggaran makan bergizi gratis (MBG) hingga pemangkasan anggaran pertahanan dan keamanan,” ujar dia.
Sumber : Harian Kontan

WA only
Leave a Reply