Indonesia mendandatangani perjanjian kerjasama pertukaran data aset digital dengan OECD
Era baru transpa ransi pajak kripto resmi dimulai. Indonesia kini siap tukarmenukar data aset digital dengan 50 negara setelah bergabung dalam perjanjian internasional yang digagas Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Berdasarkan daftar terbaru OECD per 26 Agustus 2025, Indonesia tercatat menandatangani Multilateral Compe tent Authority Agreement on Automatic Exchange of Information Pursuant to The Crypto Asset Reporting Framework (CARF-MCAA).
Perjanjian ditandatangani bersama negara lain, di antaranya Jepang, Italia, Kanada, Jerman, hingga Brasil. Perjanjian ini memungkinkan otoritas pajak antarnegara saling bertukar informasi soal kepemilikan dan transaksi kripto secara otomatis.
OECD menjelaskan, kesepakatan ini merupakan tindak lanjut mandat G20 pada April 2021. “Mengingat pesatnya perkembangan dan pertumbuhan pasar aset kripto dan untuk memastikan pencapaian transparansi pajak global yang baru-baru ini diraih tidak terkikis secara bertahap, pada April 2021, G20 memberi mandat kepada OECD untuk mengembangkan kerangka kerja yang memungkinkan pertukaran otomatis informasi pajak terkait aset kripto,” tulis OECD, dikutip Minggu (31/8).
Pada Agustus 2022, OECD menyetujui Kerangka Pelaporan Aset Kripto (CARF) yang memungkinkan pelaporan informasi pajak atas trans
Potensi penerimaan pajak kripto bisa capai Rp 3,4 triliun pada 2027.
aksi aset kripto secara terstandarisasi, dengan tujuan pertukaran informasi tersebut secara otomatis.
Dengan bergabungnya Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan memiliki akses resmi ke data lintas negara terkait investor kripto asal Indonesia yang menyimpan asetnya di luar negeri. Rencana pemerintah mengadopsi CARF guna memfasilitas pertukaran data aset kripto telah tertuang dalam Buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Potensi triliunan
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai, perjanjian tersebut membuat ruang penghindaran pajak atas transaksi aset kripto semakin sempit. Selama ini, otoritas pajak di berbagai negara, termasuk Ditjen Pajak, kesulitan melacak transaksi maupun kepemilikan kripto masyarakat.
Kepemilikan kripto ini dilakukan melalui penyedia layanan luar negeri, alias crypto asset service providers atau exchanger offshore. Selain itu,dengan adanya perjanjian tersebut maka data nasabah dan transaksi offshore akan masuk ke Ditjen Pajak.
Nah, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025, Ditjen Pajak dapat menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri untuk memungut PPh 22 final 1% atau melakukan penagihan jika belum dipungut.
“Sehingga bisa menaikkan coverage transaksi sekaligus disinsentif untuk channel shifting ke offshore,” kata Ariawan, kemarin.
Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), jumlah pelanggan aset kripto di Indonesia per November 2024 tercatat 22,1 juta orang dengan tren meningkat. Nilai transaksi mencapai Rp 556,53 triliun sepanjang Januari hingga November 2024. Sementara nilai transaksi untuk Januari hingga Juni 2025 sudah menembus Rp 224,11 triliun.
Ariawan memperkirakan, dengan pendekatan nilai trans aksi tahunan Rp 800 triliun-Rp 1.000 triliun dan pangsa transaksi offshore sekitar 30%-40%, potensi penerimaan pajak tambahan cukup signifikan.
“Jika tarif domestik 0,21% dan tarif offshore 1%, maka pada 2026, dengan capture rate 30%, potensi penerimaan tambah Ariawan. Angka terse bisa mencapai Rp 2,2 triliun,” but diperkirakan naik menjadi Rp 3,4 triliun pada 2027 seiring meningkatnya pertukaran data antarnegara.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply