Kinerja penerimaan pajak terus mengalami tekanan kendati pemerintah mengklaim kondisi perekonomian dalam kondisi ekspansif. Rapor ekonomi kuartal 2/2025 masih tumbuh di angka 5,12%.
Data Direktorat Jenderal Pajak mencatat bahwa realisasi penerimaan pajak mencapai Rp990,01 triliun selama Januari—Juli 2025. Angka itu turun 5,29% dari realisasi penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY) sebesar Rp1.045,3 triliun.
Realisasi penerimaan pajak itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu (10/9/2025).
Dalam paparannya, Bimo tidak menjelaskan penurunan nominal realisasi penerimaan pajak itu. Dia hanya menyampaikan bahwa secara kontribusi, penerimaan pajak terhadap total pendapatan negara naik 1,67%; dari 67,63% pada Januari—Juli 2024 menjadi 69,3% pada Januari—Juli 2025.
“Itu Rp990,01 triliun yang mana konsistensi tumbuh positif sejak bulan Mei, kemudian Juli, dan Juli ke Agustus juga tumbuh slightly [sedikit] positif walaupun kondisi cukup sulit,” ujar Bimo.
Adapun realisasi Rp990 triliun itu setara 47,2% dari target total penerimaan pajak dalam APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun. Bimo pun merincikan empat sumber utama realisasi penerimaan pajak itu.
Pertama, dari pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp174,47 triliun atau setara 47,2% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Badan itu turun 9,1% dari periode yang sama tahun lalu.
Kedua, dari PPh Orang Pribadi sebesar Rp14,98 triliun atau setara 98,9% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Orang Pribadi itu naik 37,7% dari periode yang sama tahun lalu.
Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp350,62 triliun atau setara 37,1% dari target APBN 2025. Realisasi PPN dan PPnBM itu turun 12,8% dari periode yang sama tahun lalu.
Keempat, pajak bumi bangunan (PBB) sebesar Rp12,53 triliun. Realisasi itu naik 129,7% dari periode yang sama tahun lalu.
Pajak Minimum Global Batal?
Sementara itu, di tengah tekanan terhadap penerimaan pajak, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengungkapkan pemerintah mempertimbangkan ulang penerapan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) 15% terutama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Susi tidak menampik bahwa pemerintah sudah resmi menerapkan pajak minimum global mulai tahun ini seperti amanat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/2024.
Kendati demikian, Kemenko Perekonomian masih berdiskusi lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan terkait aturan itu. Apalagi, sambungnya, banyak negara lain yang kembali mempertimbangkan ulang penerapan pajak minimum global itu.
“Terkait dengan GMT, kita sedang diskusi dengan Kemenkeu karena sudah ada PMK-nya. Cuma, kan, sama dengan negara lain, pemberlakuannya kan masih kita pertimbangkan lagi. Negara-negara lain kan juga,” ujar Susi usai konferensi pers perkembangan KEK di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Sebagai informasi, pajak minimum global 15% termasuk dalam Pilar 2 pajak global yang ditawarkan OECD/G20. Aturan itu mengharuskan penerapan pajak sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan di atas 750 juta euro.
Dengan demikian, bisa berkurang persaingan antarnegara untuk menetapkan tarif pajak rendah (race to the bottom) demi menarik investasi. Belakangan, lebih dari 49 negara, termasuk Indonesia, sudah mulai menerapkan Pilar 2 pajak global itu di peraturan perundang-undangannya.
Masalahnya, dalam paparannya dalam konferensi pers perkembangan KEK, Susi menyampaikan bahwa negara-negara pesaing Indonesia menawarkan insentif pajak yang menarik di KEK-nya. Padahal, Indonesia juga tetap ingin menarik investasi asing lewat KEK.
Kompetisi Pajak
Anak buah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto itu merincikan, KEK di Thailand menawarkan penurunan tarif pajak penghasilan badan (CIT) 20% berdasarkan usahanya; pembebasan pajak usaha; insentif pajak untuk usaha pendukung industri 4.0; insentif maksimum untuk teknologi maju, litbang (R&D), robotika; dan pengurangan pajak investasi 70%—100% selama 5—10 tahun
Kemudian KEK di Malaysia menawarkan pengurangan pajak investasi 70%—100% selama 5 tahun; insentif reinvestasi 60% hingga 10 tahun berturut-turut; hingga insentif khusus untuk sektor strategis seperti manufaktur, ketahanan pangan, industri hijau.
KEK di Vietnam menawarkan pengurangan pajak penghasilan badan 10% untuk proyek investasi besar, preferensi tarif CIT (10%–17%) hingga 15 tahun, pembebasan pajak 50% hingga 4 tahun, diskon pajak untuk 9 tahun berikutnya, hingga pembebasan bea impor dan masuk.
Lalu KEK di Filipina menawarkan perusahaan ekspor penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun (bisa diperpanjang); pengurangan pajak tambahan hingga 10 tahun (biaya pelatihan, riset, bahan baku); perusahaan domestik dapat penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun; dan pengurangan pajak tambahan selama 5 tahun.
Sementara KEK di India menawarkan insentif untuk perusahaan ekspor berupaya penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun dan tarif pajak penghasilan badan khusus (diskon 5%) atau pengurangan pajak tambahan hingga 10 tahun; perusahaan domestik mendapatkan penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun dan pengurangan pajak tambahan selama 5 tahun.
Sementara itu, luas kawasan KEK di Thailand yang mencapai 622.000 hektare, Malaysia yang capai 2,14 juta hektare, Vietnam yang capai 1,62 Ha, Filipina yang capai 70.476 hektare, dan India yang capai 39.205,73 hektare. Sebagai perbandingan, Indonesia baru mempunyai KEK dengan total luas wilayah 23.797,88 hektare.
“Jadi sebenarnya kalau kita lihat potensi pengembangan KEK kita masih sangat besar, khususnya untuk mendorong pengembangan dari luasan area maupun bentuk-bentuk insentif fiskal maupun non fiskal yang masih bisa kita kembangkan lagi ke depan,” simpul Susi.
Sumber : bisnis.com
Leave a Reply