Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai, kebijakan pemerintah memperluas insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) ke sektor hotel dan restoran memang meringankan pekerja, tetapi belum menjawab persoalan utama yang dihadapi pengelola usaha. PHRI meminta pemerintah memberikan kelonggaran pembatasan kegiatan dan meningkatkan penggunaan hotel untuk acara pemerintahan, agar industri pariwisata kembali bergairah.
Sekretaris PHRI Kota Bekasi Wahyudi Yuka menegaskan dukungan penuh terhadap kebijakan PPh 21 DTP yang bermanfaat bagi karyawan hotel dan restoran. Namun, ia mengingatkan kondisi pengusaha justru masih tertekan karena pembatasan aktivitas.
“Soal PPh 21 yang ditanggung pemerintah kami mendukung, tapi itu untuk pekerjanya. Kalau hotelnya sendiri tidak didukung dan masih ada pembatasan rapat serta kegiatan, sama saja,” kata Wahyudi dalam keterangan resmi, dikutip Pajak.com, Kamis (18/9/2025).
Ia mengungkapkan, omzet hotel di Bekasi dan sejumlah daerah belum pulih, bahkan masih berada di bawah 40 persen. Pada akhir pekan, tingkat hunian hanya berkisar 30–35 persen. Padahal, di tahun 2024, okupansi masih berada di kisaran 50 hingga 70 persen. Kondisi tersebut membuat sejumlah hotel harus mengurangi karyawan, sementara di daerah lain banyak yang terpaksa menutup usaha.
Tren serupa juga terjadi pada restoran yang mengalami penurunan jumlah pengunjung akibat daya beli masyarakat yang melemah. Konsumen kini cenderung memilih warung kopi atau tempat makan sederhana yang lebih terjangkau.
Di kesempatan berbeda, Ketua PHRI Jawa Barat Dodi Ahmad Sofiandi menilai, manfaat kebijakan itu terbatas karena hanya menyasar pekerja setingkat kepala di hotel, restoran, dan kafe.
“Di hotel, (program tersebut hanya menyasar) setingkat HRD atau kepala. Jadi bagi hotel bintang tiga ke bawah bahkan melati tidak terasa,” ujarnya kepada awak media di Bandung, Jawa Barat.
Dodi menambahkan, mayoritas karyawan hotel berbintang tiga ke bawah digaji sesuai Upah Minimum Regional (UMR), seperti di Bogor dan Bandung yang hanya sekitar Rp4,5 juta, sehingga tidak terkena PPh. “Itu kurang mengena kata teman-teman, baiknya dilonggarkan saja,” katanya.
Menurutnya, yang paling dibutuhkan pelaku usaha saat ini adalah pelonggaran aturan agar kegiatan pemerintahan kembali digelar di hotel. Saat ini memang ada peningkatan aktivitas, tetapi belum sebanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Lebih baik dilonggarkan lagi dari pemerintah pusat, rapat di hotel diadakan lagi,” harapnya.
Tingkat okupansi hotel di Bandung saat ini relatif lebih baik dibanding rata-rata Jawa Barat. Dodi menyebut, rata-rata hunian hotel di Bandung mencapai 50 persen, bahkan hotel bintang empat dan lima di pusat kota bisa mencapai 60–65 persen. Namun, di daerah pinggiran hanya sekitar 30–40 persen. Sementara rata-rata Jawa Barat hanya 41 persen.
Meski okupansi relatif terjaga, dari sisi pendapatan kondisi hotel di Bandung belum pulih sepenuhnya. Sektor meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) masih belum maksimal setelah pandemi.
“Secara okupansi tidak drop jauh, tapi revenue memang turun. MICE belum maksimal,” imbuh Dodi.
Ketua Badan Promosi Pariwisata Kota Bandung Arief Bonafianto menambahkan, dukungan pemerintah melalui kebijakan yang lebih akomodatif adalah hal terpenting dalam kondisi saat ini. Ia menyebut, PHRI bersama pelaku usaha rutin mendukung berbagai acara di Kota Bandung dengan memberi diskon khusus untuk menarik pengunjung.
“Event-event besar jelas mendatangkan wisatawan, tapi tanpa dukungan anggaran yang memadai, upaya promosi pariwisata tidak bisa maksimal,” tegasnya.
Arief menggarisbawahi, kunci pariwisata adalah keberlangsungan event. Selama pemerintah aktif mendorong kegiatan, okupansi hotel akan ikut terdongkrak.
“PHRI siap mendukung penuh, karena kunci pariwisata itu event. Selama event terjaga, okupansi akan ikut naik,” katanya.
Sumber : Pajak.com

WA only
Leave a Reply