Menilik manfaat dan mudarat perpanjangan tarif PPh final 0,5% UMKM hingga 2029
Pemerintah di ingatkan berhati-hati menjalankan kebijakan tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Kebijakan ini bakal diperpanjang hingga 2029 nanti.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengingatkan adanya risiko moral hazard dari kebijakan ini. Menurut dia, ada potensi sebagian pelaku usaha memanfaatkan fasilitas PPh final UMKM untuk mengurangi beban pajak, meski seharusnya tidak berhak.
Oleh karena itu, Fajry menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan insentif. Salah satunya dengan menerapkan aturan anti-avoidance yang efektif. “Agar yang memanfaatkan stimulus benarbenar pelaku usaha UMKM,” kata Fajry, Minggu (21/9).
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat juga mengingatkan, terlalu lama memperpanjang skema PPh final justru berpotensi menghambat pencapaian target rasio pajak ke depan. Selain itu, ada risiko distorsi prilaku. Skema sederhana dan murah ini bisa membuat UMKM enggan berubah menjadi badan usaha atau melaporkan laba riil.
“Untuk mencegah ini pemerintah harus jeli menerapkan aturan. Misal, terkait soal pemecahan entitas dan menerapkan linkage ownership rules serta aturan agregasi omzet per Nomor Induk Ke
Pemerintah harus jeli dalam menerapkan aturan PPh final 0,5% UMKM
pendudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tutur Ariawan.
Sementara Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai, kebijakan tersebut positif. Bahkan menurutnya, kebijakan ini perlu ditetapkan secara permanen. “Perpanjangan fasilitas final PPh UMKM 0,5% hingga 2029 sudah baik. Bahkan lebih baik lagi jika selanjutnya seperti itu. Artinyapermanen selamanya,” ujar Raden.
Menurut Raden, batasan jangka waktu penggunaan PPh final UMKM baru muncul sejak terbitnya PP Nomor 23 Tahun 2018. Sebelumnya, PP 46 Tahun 2013 memberikan kelonggaran tanpa batasan waktu bagi wajib pajak dengan omzet maksimal Rp 4,8 miliar setahun untuk menggunakan skema tersebut.
Tak ganggu penerimaan
Raden menilai, pembatasan jangka waktu justru kontraproduktif dengan kondisi UMKM. Sebab, banyak pelaku usaha masih enggan berurusan dengan pajak.
Selain itu, sebagian besar UMKM belum disiplin menyelenggarakan pembukuan. Jika dipaksa beralih ke sistem pembukuan penuh, ia khawatir malah akan dibuat rugi, sehingga tidak membayar PPh.
“Jadi membatasi penggunaan PPh final UMKM 0,5% justru akan merugikan Ditjen Pajak karena prilaku UMKM pada umumnya kurang kesadaran perpajakannya,” tambah Raden.
la juga menyinggung, tujuan awal pembatasan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 adalah agar UMKM belajar membuat pembukuan. Namun, pendekatan tersebut tidak realistis. “Jadi moral hazard sebenarnya jika UMKM diwajibkan menyelenggarakan pembukuan,” cetus Raden.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan, pemerintah akan melanjutkan insentif ini hingga tahun 2029 nanti. Fasilitas ini akan dimanfaatkan oleh 542.000 wajib pajak UMKM terdaftar yang memiliki peredaran bruto (omzet) tahunan sampai dengan Rp 4,8 miliar.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu memastikan, perpanjangan tarif ini tidak akan menganggu target penerimaan negara. Sebab insentif tersebut juga masuk dalam belanja perpajakan alias tax expenditure.
Sumber : Harian Kontan

WA only
Leave a Reply