Tak Lagi Efektif, Kaji Ulang Insentif Pajak Investasi

Pemerintah mulai mengevaluasi insentif pajak untuk menarik para pemilik modal asing. Pasalnya, skema klasik seperti tax holiday maupun tax allowance tak akan lagi efektif jika pajak minimum global alias global minimum tax (GMT) mulai berlaku nanti.

GMT merupakan bagian dari Pilar Dua kesepakatan pajak internasional yang digagas oleh Organisation for Economic Co-operation & Development (OECD). Kebijakan ini mewajibkan korporasi multinasional membayar pajak minimum 15%, di manapun mereka mencetak laba. Indonesia menjadi salah satu negara yang bersiap mengadopsi lebih awal, bersama Singapura dan Hong Kong.

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mekar Satria Utama menegaskan, kebijakan baru ini akan berdampak langsung pada peta insentif fiskal yang selama ini diberikan pemerintah.

“Jadi dampak pertama jika kita menerapkan Pilar Dua adalah mengurangi efektivitas insentif pajak yang kita miliki saat ini,” kata Mekar, dalam acara 15th TIF International Tax Seminar, Rabu (24/9)

Selama ini, pemerintah mengandalkan pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) badan melalui insentif tax holiday maupun tax allowance untuk menarik investasi langsung. Jika nantinya GMT mulai berlaku, insentif tersebut tidak lagi efektif.

Pasalnya, negara asal perusahaan bisa menarik pajak tambahan dari selisih tarif yang terlalu rendah itu. Sebab itu, “Insentif akan bergeser dari tax holiday atau tax allowance, yang biasanya kita berikan kepada FDI di Indonesia, beralih ke apa yang kita sebut refundable tax credit, tambah Mekar.

Sayangnya Mekar masih belum menjelaskan lebih lanjut mengenai skema tersebut sekaligus rencana implementasinya

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, skema qualified refundable tax credit (QRTC) dinilai berpotensi menjadi model insentif pajak baru yang lebih sesuai dengan ketentuan Global Anti-Base Erosion (GloBE) dibandingkan tax holiday.

Bawono menjelaskan, QRTC merupakan bentuk insentif berupa kredit pajak yang dapat diuangkan (cash-based refundable credit). Dalam kerangka GloBE, QRTC dianggap lebih menguntungkan ketimbang tax holiday.

Alasannya, dampaknya terhadap effective tax rate (ETR) lebih kecil. “Berbeda dengan tax holiday yang nilainya digunakan sebagai pengurang pajak. Dengan demikian, risiko adanya pengenaan top-up tax bagi perusahaan yang memanfaatkan QRTC juga lebih kecil,” ujar Bawono kepada KONTAN, Kamis (25/9).

Lebih lanjut, Bawono menuturkan, QRTC bisa menjadi skema insentif pajak baru yang lebih menarik pada era penerapan GloBE.

Sejumlah negara bahkan sudah mulai menerapkan QRTC, khususnya di kawasan Uni Eropa. Di Asia Tenggara, Vietnam, Singapura, dan Malaysia tercatat telah melangkah ke arah insentif tersebut.

Konsultan Pajak dari Boțax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai, bahwa QRTC merupakan salah satu instrumen insentif pajak yang efektif untuk menghadapi ketentuan pajak minimum global.

la menjelaskan, skema tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan, bukan pengurang pajak. Dengan karakteristik tersebut, QRTC memberikan keuntungan tersendiri bagi investor.

Insentif yang diperoleh tidak akan memicu adanya pungutan tambahan (top up tax), meski tarif pajak efektif berada di bawah ambang batas 15% yang ditetapkan dalam Pilar Dua.

Sumber : Harian Kontan, Jum’at 26 September 2025, Hal 2.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only