Meski tax ratio diincar naik ke 12%, pemerintah hadapi risiko penerimaan tidak maksimal
Upaya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencapai target penerimaan pajak tahun depan bakal berat. Terlebih, jika kinerja tahun ini tak semulus yang diharapkan.
Dalam Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, pemerintah mematok target penerimaan pajak sebesar Rp 2.357,7 triliun. Angka ini naik 7,69% dibanding target dalam APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun dan naik 13,52% dibandingkan outlook 2025 yang sebesar Rp 2.076,9 triliun.
Kenaikan target pajak tersebut bukan angka yang kecil, mengingat pada tahun ini saja, penerimaan pajak masih terkontraksi. Jika ternyata penerimaan pajak pada 2025 gagal mencapai target, bahkan mencapai outlook, target pada 2026 bakal makin berat terealisasi.
Staf ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Ditjen Pajak Ton Arsal mengakui, tantangan pada 2026 tidak ringan. Ketidakpastian global, fluktuasi harga komoditas, dan pergeseran ekonomi ke arah digital jadi faktor yang memperngaruhi penerimaan pajak. “Ini belum sepenuhnya mampu diakomodasikan di sistem perpajakan kita,” kata Yon, Jumat (12/10).
Untuk mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2026, pihaknya Ditjen Pajak menyiapkan strategi menyeluruh, mulai dari perluasan basis perpajakan, meningkatkan kepatuhan wajib pajak. hingga reformasi administrsai perpajakan melalui sistem coretax yang akan diimplementasikan penuh tahun depan.
Sistem Coretax akan diterapkan secara penuh mulai tahun 2026 mendatang.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa punya ambisi untuk mengerek rasio pajak atau tax ratio Indonesia bisa naik ke level 12% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan. Salah satu yang akan dikejar pemerintah, yaitu penerimaan yang berasal dari shadow economy.
Namun, Menkeu juga menyadari bahwa sektor ini belum akan efektif menghasilkan tambahan penerimaan pajak dalam waktu dekat. Sebab itu, langkah pemerintah dalam mengatasi shadow economy akan difokuskan pada upaya memperkuat pelacakan ekonomi nasional terlebih dahulu. Meski begitu menurut Yon, kenaikan tax ratio tidak hanya bergantung pada kebijakan dan teknologi tetapi juga tergantung pada kepatuhan sukarela (voluntary compliance) wajib pajak.
Pengaruhi Usaha
Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mewantu wanti pemerintah agar tidak menaikan tax ratio secara signifikan pada tahun depan. Menurut dia, tax ratio tidak bisa dikejar secara instan tanpa memperhitungkan kapasitas ekonomi dalam negeri.
“Konsekuensinya bisa mempengaruhi stabilitas makro ekonomi dan iklim usaha,” ujar Fajry, Minggu (12/10). Terlebih ada risiko realisasi penerimaan pajak tahun ini jauh di bawah target maupun outlook.
Menurut Fajry, penetapan target penerimaan pajak seharusnya dilakukan secara botton-up, berdasarkan potensi riil di lapangan. Jadi bukan dengan pendekatan top-down yang didorong oleh kebutuhan belanja pemerintah.
Jangan sampai, target pajak ditetepkan untuk memenuhi kebutuhan belanja, apalagi untuk membiayai program politik yang butuh anggaran besar. “Kalau beitu risikonya bisa muncul praktik pemungutan pajak yang agresif bahkan abusive,” tegas Fajry.
Di tengaj ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, fokus pemerintah seharusnya bukan menaikkan target pajak, melainkan mendorong peran sektor swasta untuk memperkuat basis ekonomi.
Ini bisa dilakukan dengan memberikan kepastian kepada dunia usaha dan memberikan ruang gerak bagi swasta.
Sumber : Harian Kontan

WA only
Leave a Reply