Tutup Celah, Cara Pungut PPN Emas Diubah

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana mengubah mekanisme pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi emas perhiasan. Sebabnya, banyak produsen emas yang melakukan transaksi langsung dengan konsumen.

Pungutan pajak emas perhiasan diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 11 Tahun 2025, yang merevisi aturan sebelumnya berupa PMK Nomor 48 Tahun 2023. Dalam beleid tersebut, transaksi emas perhiasan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22.

Pabrikan emas perhiasan, wajib memungut PPN sebesar 1,1% dari harga jual untuk penyerahan kepada pabrikan emas perhiasan lainnya. Atau, pabrikan wajib memungut PPN sebesar 1,65% dari harga jual untuk penyerahan kepada konsumen akhir.

Selain itu, pabrikan dan pedagang emas perhiasan juga wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga jual. Namun, pemungutan tersebut dikecualikan atas penjualan emas perhiasan kepada konsumen akhir.

Nah, pekan lalu, Menkeu Purbaya menerima aduan dari Asosiasi Produsen Perhiasan Indonesia bahwa banyak produsen yang beroperasi secara gelap dan tidak menyetor kewajiban pajaknya.

“Dia (produsen emas) menjalankan itu dan langsung jual ke toko-toko emas di sana, dan akhirnya dia enggak bayar pajak. Sedangkan (produsen emas) yang legal bayar pajak nya 1,1% ketika di pabriknya dan 1,65% itu PPN-nya (ke konsumen akhir). Jadi itu hampir 3%, kata Purbaya, Kamis (23/10) lalu.

Terkait hal ini, berdasarkan usulan asosiasi, Menkeu Purbaya berencana langsung mengenakan PPN sebesar 3% di tingkat pabrikan maupun dari pabrikan kepada pedagang emas. Sementara pungutan PPN kepada konsumen akhir, bakal dihapus

Timbul risiko

Pengamat Pajak, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, perubahan mekanisme tersebut justru akan menimbulkan dampak lanjutan yang perlu diantisipasi pemerintah. Menurut dia, perkembangan teknologi dan digitalisasi memungkinkan pabrikan atau produsen emas perhiasan untuk menjual langsung ke konsumen tanpa melalui pedagang perantara.

Namun demikian, jika hal itu terjadi, maka konsumen akan cenderung membeli langsung ke pabrikan mengingat konsumen tak akan dikenakan PPN. Namun hal ini bakal berdampak signifikan terhadap struktur pasar.

Pedagang perhiasan emas tradisional, lanjut Fajry, bakal kehilangan pelanggan karena harga produk dari pabrikan menjadi lebih kompetitif. “Kalau sudah begitu, pemerintah akan kehilangan penerimaan, sedangkan para pedagang terpaksa gulung tikar,” kata Fajry, Minggu (26/10).

Sementara menurut Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat, jika skema baru benar-benar diimplementasikan, kebijakan ini justru akan menyederhanakan banyak hal.

Pertama, pemerintah berusaha memusatkan beban pungutan PPN di tingkat produsen yang jumlahnya lebih sedikit dan lebih mudah diawasi. Cara ini akan menurunkan jumlah titik pemungutan, meningkatkan transparansi, serta efisiensi audit, karena sektor emas tergolong berisiko tinggi.

Kedua, sistem ini menurunkan biaya kepatuhan pedagang kecil dan mengurangi praktik under-reporting di toko ritel, karena tidak lagi ada pungutan PPN di tingkat konsumen. Ketiga, dari sisi toko emas atau ritel, skema ini diyakini dapat meningkatkan kepercayaan konsumen dan mengurangi praktik potongan harga tidak resmi yang kerap terjadi.

Tapi Ariawan mengingatkan, penentuan dasar perhitungan pajak (DPP) harus dilakukan hati-hati agar tidak menimbulkan distorsi. Jika perumusan DPP tidak sinkron dengan aturan sebelumnya, bisa muncul dua risiko besar, yakni pajak berganda dan pajak kurang pungut.

Sumber : Harian Kontan, Senin, 27 Oktober 2025, Hal 2.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only