DIREKTUR Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan pungutan pajak karbon belum menjadi prioritas untuk diterapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja (APBN) 2026. Pemerintah bakal lebih mengutamakan instrumen perdagangan karbon global.
Febrio menyatakan pemerintah masih memprioritaskan target pertumbuhan ekonomi tahun depan. “(Pajak karbon) enggak prioritas. Kita fokus di belanja, pertumbuhan ekonomi,” ucapnya saat ditemui seusai rapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Senin, 17 November 2025.
Selain itu, menurut Febrio, target Nationally Determined Contribution (NDC) atau target nasional pengurangan emisi gas rumah kaca saat ini sudah melampaui komitmen. Sehingga pemerintah akan lebih memprioritaskan instrumen pasar perdagangan karbon.
“Tadi sudah disampaikan bahwa pencapaian NDC kita kan sudah melampaui komitmen. Jadi justru kita sekarang fokus untuk bisa jual itu karbon kreditnya ke global,” ujar Febrio.
Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual-beli kredit karbon, di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu dan menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat.
Adapun pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, dan lain-lain. Pajak ini salah satunya bertujuan untuk mendukung target pengurangan emisi karbon sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Dalam rapat dengan Komisi XI DPR Febrio memaparkan sederet tantangan implementasi pajak karbon. Di antaranya capaian realisasi emisi Indonesia masih sesuai target enhanced NDC.
Selain itu butuh sinkronisasi kebijakan lintas sektor dan peta jalan kebijakan perdagangan karbon termasuk pasar karbon di tingkat nasional dan global. Itu nantinya akan diatur dalam peraturan menteri bersama.
Pemerintah juga mempertimbangkan dampak negatif pajak karbon terhadap ekonomi makro. Risikonya kenaikan biaya energi seperti biaya pokok penyediaan (BPP) listrik dan bahan bakar fosil dapat menambah tekanan pada subsidi dan kompensasi APBN. Serta ketidaksiapan sektor listrik dan industri berpotensi menaikkan beban masyarakat.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan jika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa belum menerapkan pajak karbon, maka itu mengulang apa yang dilakukan Sri Mulyani saat menjabat menteri. Di era Sri Mulyani, implementasi pajak karbon terus tertunda.
Fahmy menyatakan pajak karbon bakal berdampak positif ke pendapatan negara dan target pengurangan emisi karbon atau net zero emission (NZE) 2060. Pemerintah, kata dia, bisa mengerek penerimaan dari pajak karbon perusahaan swasta dan BUMN penghasil emisi.
Menurut dia, beberapa perusahaan swasta yang bisa ditagih pajak karbon, atau BUMN seperti PT PLN yang beberapa pembangkitnya masih menggunakan batu bara. “Jadi selain menambah pendapatan, pajak karbon juga mendorong BUMN maupun juga perusahaan swasta untuk mengulangi karbon, sehingga target net zero emission tahun 2060 itu bisa tercapai,” ucapnya kepada Tempo, Senin, 17 November 2025.
Sumber : Tempo.co

WA only
Leave a Reply