Direktorat Jenderal Pajak alias DJP Kementerian Keuangan memburu kepatuhan konglomerat sawit serta pelaku bisnis mineral dan batu bara (minerba). Kepatuhan dari dua sektor yang memiliki kontribusi penting untuk menambah pundi-pundi penerimaan pajak yang tahun ini diperkirakan terkontraksi sangat dalam.
Dalam catatan Bisnis, sawit dan batu bara memang kerap menjadi sorotan terkait praktik penghindaran pajak. Apalagi, sejumlah laporan dari lembaga independen dengan basis di luar negeri, menyebut sejumlah perusahaan di sektor batu bara diduga melakukan praktik pelanggaran perpajakan.
Otoritas pajak sendiri telah memberikan peringatan keras kepada ratusan pelaku usaha di sektor kelapa sawit menyusul temuan berbagai modus ketidaksesuaian data mulai dari underinvoicing hingga penggunaan faktur fiktif.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto memaparkan bahwa otoritas pajak telah mengantongi data modus pelanggaran ekspor terbaru. Selain itu, DJP mengidentifikasi dugaan praktik penghindaran pajak lainnya seperti under-invoicing dan penggunaan faktur pajak Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (TBTS) atau faktur fiktif.
Bimo mengimbau para “raja sawit” tersebut untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan melakukan pembetulan secara sukarela sebelum otoritas melangkah ke ranah penegakan hukum (gakkum).
“Dalam kesempatan sosialisasi ini, kami mengimbau Bapak-Ibu untuk segera melakukan pembenahan secara sukarela sebelum DJP melakukan langkah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terindikasi tidak patuh,” kata Bimo.
Bimo memastikan pengawasan akan dilakukan secara profesional dan proporsional tanpa menghambat aktivitas ekonomi, demi memperkuat tata kelola industri sawit yang lebih transparan dan akuntabel.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa langkah pemerintah, termasuk operasi gabungan Kemenkeu-Polri yang membongkar penyelundupan produk turunan CPO pada awal November 2025, dilakukan untuk memastikan kegiatan usaha berjalan sesuai koridor hukum sekaligus mengamankan penerimaan negara.
Dalam pertemuan yang dihadiri sekitar 200 pelaku usaha yang mewakili 137 Wajib Pajak strategis sektor sawit di Kantor Pusat DJP pada Jumat (28/11/2025), Purbaya meminta para pengusaha untuk terbuka jika menghadapi kendala di lapangan.
“Kalau ada kesulitan atau masalah apa pun, laporkan ke saya. Kita bereskan. Yang jelas, kita ingin industri sawit ini tetap menjadi tulang punggung industri Indonesia,” tegasnya, pekan lalu.
Purbaya, yang hadir secara mendadak dalam agenda tersebut, menekankan bahwa kebijakan fiskal ke depan akan diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan, namun tetap menuntut kontribusi maksimal bagi kas negara.
“Sebenarnya saya tidak dijadwalkan hadir, ini mendadak. Kata Pak Bimo [Dirjen Pajak] tadi, kalau Pak Menteri datang semoga pendapatan pajaknya bisa meningkat banyak,” ujarnya.
Kepatuhan Pajak Syarat RKAB
Direktur Jenderal Pajak alias DJP Bimo Wijayanto mendorong supaya data Minerba-One yang dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral alias ESDM bisa segera terintegrasi dengan Coretax milik otoritas pajak.
Hal ini ditujukan agar seluruh data dapat dimanfaatkan dalam mengumpulkan penerimaan negara. Selain itu, Bimo juga mengemukakan bahwa DJP juga telah sepakat dengan Ditjen Minerba untuk memasukkan komitmen pelunasan pajak sebagai salah satu dokumen kelengkapan pada saat mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) .
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan pelaksanaan kegiatan kolaborasi ini merupakan upaya bersama dalam mengelola kekayaan negara, baik oleh pemerintah selaku regulator maupun wajib pajak selaku pelaku kegiatan ekonomi dari sektor pertambangan mineral dan batu bara.
“Pesan Pak Presiden kembali ke pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan utama membangun sistem ekonomi Indonesia yang berkeadilan, yaitu pentingnya prinsip gotong royong,” ujar Bimo, dikutip Jumat (28/11/2025).
Berdasarkan data internal DJP, dalam lima tahun terakhir jumlah populasi wajib pajak dari sektor pertambangan minerba cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertambahan sekitar 3%.
Pada tahun 2021 terdapat sebanyak 6.321 wajib pajak hingga pada tahun 2025 tumbuh menjadi 7.128 wajib pajak. Selain itu, penerimaan sektor pertambangan mineral logam mampu meningkat lebih dari 10 kali lipat dari sebesar Rp4 triliun (2016) menjadi Rp45 triliun (2024).
Sedangkan penerimaan pajak sektor pertambangan batu bara mengalami fluktuasi sejalan dengan pergerakan harga komoditas global.“Kami tidak bisa berdiri sendiri apabila tidak ada sumbangsih dari bapak ibu selaku pelaku ekonomi (sektor minerba) yang menyumbang 20 sampai 25 persen dari penerimaan negara,” ujar Bimo.
Batu Bara Kena Bea Keluar
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah memastikan batu bara akan dikenai bea keluar pada 2026. Pengenaan bea keluar itu mengakhiri keistimewaan komoditas ’emas hitam’ yang sudah berlangsung sejak 2006 lalu.
Purbaya menyadari rencana ini akan menuai pro dan kontra. Namun dia menekankan bahwa kontribusi penerimaan negara dari sektor ini masih relatif kecil dibandingkan produk pertambangan lain.
“Semua perusahaan batu bara pasti menolak, orang dikasih tarif ekspornya. Tapi kan begini, sebagian dari kita melihat dibanding barang tambang lain, misalnya minyak, kan batu bara lebih sedikit yang dibayar ke pemerintah,” ujarnya Rabu pekan lalu.
Purbaya kemudian membandingkan beban pungutan batu bara dengan skema Production Sharing Contract (PSC) minyak dan gas (migas). Menurutnya, dalam skema PSC, pemerintah bisa mendapatkan porsi bagi hasil hingga 85%, sedangkan kontraktor hanya 15%.
Sementara itu, kewajiban yang dibayarkan pengusaha batu bara saat ini dinilai jauh di bawah persentase tersebut. Oleh sebab itu, Purbaya optimistis ruang fiskal untuk meningkatkan pungutan dari sektor ’emas hitam’ ini masih terbuka lebar tanpa harus mematikan pelaku usaha.
Dia meyakini kebijakan ini tidak akan menggerus daya saing harga batu bara Indonesia di pasar global. Menurutnya, kebijakan ini hanya akan sedikit mengoreksi margin keuntungan pengusaha, namun tetap dalam batas keekonomian yang wajar.
“Enggak [mengganggu daya saing], untuk mereka turun sedikit [margin-nya]. Ini masih bisa ditingkatkan lagi tanpa mengganggu industrinya sendiri,” tegas Purbaya.
Saran Pengamat
Sementara itu, pengamat menilai wacana pemerintah memasukkan komitmen pelunasan pajak sebagai salah satu dokumen kelengkapan pada saat perusahaan tambang mengajukan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) sebagai langkah tepat.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar berpendapat, kebijakan itu juga bisa menjadi instrumen sanksi jika tidak menjalankan kewajiban pajak.
“Pajak dan juga PNBP merupakan kewajiban yang melekat pada pelaku usaha jadi wajar jika menjadi syarat RKAB,” ucap Bisman kepada Bisnis, Selasa (2/12/2025).
Dia juga menyebut, syarat pelunasan pajak menjadi penting, jika tambang yang merupakan sumber daya alam (SDA) yang dikuasai oleh negara.
Kendati demikian, Bisman berpendapat perlu ada masa transisi sebelum mengimplementasikan kebijakan tersebut.
“Yang harus menjadi perhatian dalam penerapannya perlu masa transisi dan sosialisasi yang cukup agar tidak menghambat proses persetujuan RKAB,” jelasnya.
Adapun soal pengenaan bea keluar, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyarankan supaya harga minimum pengenaan bea keluar ada di atas level US$160 per ton.
“Bagus kalau diberlakukan dengan pola tiered basis dan disosialisasikan. Mungkin setelah harga di atas US$160 baru diberlakukan,” ucap Singgih kepada Bisnis, Kamis (27/11/2025).
Kendati demikian, dia menjelaskan, saat ini harga batu bara tengah lesu. Berdasarkan data ICE Newcastle Coal, harga batu bara saat ini di level US$111 per ton. Harga tersebut jauh lebih rendah dibanding Januari 2025 yang berada di level US$139 per ton.
Singgih memproyeksi harga batu bara pada 2026 masih tetap rendah. Menurutnya, proyeksi harga yang masih rendah tersebut harus menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan bea keluar.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi biaya penambangan per ton saat ini terhadap kondisi pasar yang relatif masih tertekan, bahkan oversupply.
“Atas alasan itu, semestinya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan bea keluar bukan sebatas bicara tahun 2026 baru akan dikeluarkan, tapi harus meletakkan dulu bagaimana kondisi hulu [biaya penambangan] kita, bagaimana proyeksi pasar ke depan dan termasuk proyeksi harga,” jelas Singgih.
Sumber : bisnis.com

WA only
Leave a Reply