Otoritas fiskal masih akan hadapi dua tekanan pada tahun depan: ruang fiskal yang sempit dan sektor swasta yang tampaknya masih main aman dengan menahan ekspansi.
Dari sisi fiskal, penerimaan pajak yang belum maksimal akan menjadi tantangan utama. Hingga akhir Oktober 2025, penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.459 triliun.
Kinerja penerimaan pajak itu masih terkontraksi sebesar 3,8% dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.517,5 triliun.
Realisasi Rp1.459 triliun itu hanya setara 70,2% dari outlook APBN 2025 (Rp2.076,9 triliun). Bahkan, hanya setara 66,64% dari target awal APBN 2026 (Rp2.189,3 triliun).
Dengan perkembangan tersebut, sejumlah pengamat menilai APBN 2025 menghadapi risiko shortfall pajak yang besar atau pelebaran selisih target penerimaan dengan realisasi.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar misalnya, yang sudah melakukan perhitungan dengan beberapa skenario. Hasilnya, angka terburuk yang didapat yakni realisasi penerimaan pajak hanya setara 81% dari target APBN 2025.
“Ketika skenario realisasi akhir tahun 81%, proyeksi kita untuk Oktober hanya sebesar 64,5%, tidak jauh berbeda dengan realisasi pemerintah yang 66,64%. Kalau terus seperti ini realisasi penerimaan masih belum tembus 84% dari target,” ungkap Fajry belum lama ini.
Masalahnya, pada tahun depan atau dalam APBN 2026, penerimaan pajak ditargetkan naik 13,5% menjadi Rp2.357,7 triliun. Jika penerimaan pajak tahun ini hanya bisa terealisasi 84% seperti perhitungan CITA maka target penerimaan pajak 2026 harus naik hingga 29,5%.
Permasalahannya lagi, pertumbuhan penerimaan pajak secara tahunan hampir tidak pernah di atas 20%—setidaknya sejak 2014. Pengecualian hanya terjadi pada 2022, yang saat itu penerimaan pajak tumbuh 34,26% (sebagai catatan, saat itu pemerintah keluarkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela alias tax amnesty jilid II).
Masalah tak sampai situ. Jika ternyata penerimaan pajak tidak mencapai target namun belanja pemerintah tidak disesuaikan maka defisit APBN akan melebar pada tahun depan.
Pemerintah telah menetapkan defisit sebesar 2,68% dari PDB dalam APBN 2026. Sementara itu, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara sudah menetapkan batas defisit APBN di level 3% dari PDB.
Singkatnya, pemerintah tak punya ruang fiskal yang besar pada tahun depan apabila penerimaan pajak tidak alami peningkatan drastis. Sulit andalkan ekspansi fiskal untuk dorong pertumbuhan ekonomi ke 6% pada 2026.
Artinya, akselerasi pertumbuhan ekonomi tahun depan harus dari sektor swasta. Pertanyaannya: apakah sektor swasta siap? Sepertinya tidak, setidaknya berdasarkan pernyataan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Bakrie baru-baru ini.
Anindya memproyeksikan kondisi perekonomian pada 2026 akan jauh lebih kondusif dibandingkan 2025. Kendati demikian, dia mewanti-wanti pelaku usaha untuk tidak gegabah mengambil langkah ekspansif yang berisiko tinggi.
Dengan gunakan analogi permainan tenis, Anindya menyarankan pengusaha untuk bermain taktis dan fokus menjaga ritme arus kas (cashflow) ketimbang melakukan manuver agresif di awal pemulihan.
“Jadi kalau bahasa saya, yang penting kalau main tenis jangan nyangkut di net, yang penting balikin bola dulu deh ini 2026,” ujarnya dalam acara Bisnis Indonesia Group (BIG) Conference 2025 di Hotel Raffles Jakarta pada Senin (8/12/2025).
Menurut Anindya, strategi ‘asal bola balik’ ini penting agar pengusaha bisa bertahan melewati masa transisi dan tumbuh bersama momentum pemulihan (growth with the movement).
Pernyataan itu sejalan dengan realisasi pertumbuhan kredit perbankan yang baru sebesar 7,36% pada Oktober 2025. Realisasi itu masih di bawah Bank target pertumbuhan kredit Bank Indonesia di rentang 8% sampai dengan 11%.
Padahal, baik otoritas fiskal dan moneter sudah mengucurkan berbagai insentif untuk dorong pertumbuhan kredit perbankan.
Misalnya, pemerintah sudah menempatkan dana Rp276 triliun ke bank-bank Himbara (Rp200 triliun pada medio September lalu dan ditambah Rp76 triliun pada akhir November). Bank Indonesia juga terus menambah insentif likuiditas makroprodensial ke sistem perbankan sebesar Rp404,6 triliun per November 2025.
Swasta Tahan Ekspansi
Senada dengan pernyataan Anindya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo meyakini masih tertahannya pertumbuhan kredit perbankan itu akibat sektor swasta yang enggan lakukan ekspansi besar-besaran.
“Hal ini disebabkan permintaan kredit yang belum kuat, antara lain dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih menahan ekspansi, istilahnya wait and see,” ujar Perry dalam Konferensi Pers Hasil RDG Bulanan November 2025, Rabu (19/11/2025).
Pada tahun depan, kisahnya tampak tak jauh berbeda: bank sentral memberi proyeksi pertumbuhan kredit yang konservatif yaitu di kisaran 8% sampai dengan 12%. Konservatif karena target itu tak jauh berbeda dari target tahun ini di rentan 8%—11%.
Mimpi Pertumbuhan Ekonomi 6%
Kendati demikian, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa masih punya keyakinan ekonomi bisa tumbuh mencapai 6% pada 2026.
Purbaya berargumen proyeksi pertumbuhan ekonomi 6% itu tak lepas dari pemulihan signifikan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Dia mengaku pemerintah sempat berada dalam posisi rawan akibat besarnya ketidakpastian publik yang tercermin dari rendahnya IKK selama periode Juni—September lalu.
Kendati demikian, menurutnya, keadaan sudah berbalik arah. Berdasarkan data Bank Indonesia terbaru, IKK memang menunjukkan kenaikan 2,8 poin, dari 121,2 pada Oktober menjadi 124 pada November 2025.
Menurutnya, kenaikan optimisme itu akibat kebijakan guyuran likuiditasnya ke sistem perbankan. Meski belum terlalu dorong pertumbuhan kredit perbankan hingga November, dia masih yakin efek positifnya akan terlihat pada Desember 2025 atau Januari 2025.
Oleh sebab itu, jika momentum perbaikan bisa dijaga maka Purbaya meyakini ekonomi Indonesia bisa lari lebih kencang pada tahun depan.
“Kalau yang kita bisa jaga sih, tahun depan kita bisa tumbuh 6% dengan tidak terlalu sulit, saya pikir,” ujarnya di Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Kendati demikian, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengklaim proyeksi pertumbuhan ekonomi 6% ala Purbaya itu lebih mencerminkan optimisme kebijakan ketimbang refleksi kekuatan fundamental ekonomi nasional saat ini.
Rizal mengingatkan tanpa adanya perubahan pola kebijakan yang presisi, jurang (gap) antara target ambisius pemerintah dan realisasi di lapangan akan terus melebar. Pasalnya, sektor swasta saat ini masih dalam mode wait and see dan berhitung cermat terhadap risiko global maupun domestik.
Dia menekankan bahwa efektivitas stimulus tidak diukur dari besaran nominal likuiditas yang digelontorkan ke perbankan, melainkan seberapa cepat dana tersebut berputar menjadi investasi dan kegiatan produktif di sektor riil.
Oleh karena itu, Rizal menyarankan agar pemerintah menetapkan syarat yang lebih ketat (conditionalities) dalam penempatan dana negara di perbankan.
“Penempatan dana pemerintah harus disertai syarat jelas agar mengalir ke kredit produktif dan tidak mengendap di neraca bank. Dampak ekonomi tidak lahir dari jumlah likuiditas yang ditebar,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (9/12/2025).
Di sisi lain, pengajar di Universitas Trilogi Jakarta ini menilai keterbatasan APBN seharusnya memaksa pemerintah untuk lebih agresif memanfaatkan instrumen non-anggaran (non-fiskal).
Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain penyederhanaan perizinan, pemberian insentif pajak yang bersifat temporer, serta skema de-risking bagi sektor-sektor prioritas. Langkah ini dinilai krusial untuk menurunkan ketidakpastian usaha tanpa harus membebani kas negara yang sudah cekak.
“Jika belanja diarahkan lebih tepat, likuiditas mengalir ke proyek produktif, dan kepastian berusaha ditingkatkan, barulah proyeksi pertumbuhan yang lebih tinggi memiliki pijakan yang kuat,” ungkapnya.
Sumber : bisnis.com

WA only
Leave a Reply