Ironi Sawit: Jadi Sandaran Ekonomi, Isu Deforestasi, & Disorot Pajak Karena Underinvoicing

Perkebunan dan produk turunan kelapa sawit dituding sebagai pemicu deforestasi. Di Sumatra, misalnya, kelapa sawit yang tergolong sebagai tanaman monokultur secara massif menggantikan kawasan hutan yang memiliki biodiversitas tinggi.

Di sisi lain, sawit sejauh ini juga menjadi tumpuan ekonomi. Ekspor sawit menjadi salah satu andalan pemerintah Indonesia. Pada tahun 2024 lalu, total eksportasi kelapa sawit mencapai US$22,9 miliar atau kembali naik dibandingkan tahun 2023 yang hanya sebesar US$25 miliar. 

Namun di balik capaian tersebut, isu deforestasi hingga masalah lain dalam proses eksportasi, salah satunya praktik underinvoicing, menjadi catatan yang sulit hilang dari ekosistem industri sawit. 

Merujuk data Kementerian Pertanian, setiap tahun lahan sawit terus mengalami perluasan. Pada tahun 1998 atau ketika Indonesia mengalami transisi kekuasaan dari Orde Baru ke era demokratisasi, luas lahan sawit hanya sebesar 3,56 juta hektare. Saat ini atau tahun 2025, Kementerian Pertanian alias Kementan, mengestimasi bahwa luas lahan sawit berada di angka 16,83 juta hektare.

Hal itu berarti terjadi kenaikan luas sawit sebesar 13,27 hektare atau sebanyak 372,53% dari posisi tahun 1998. Angka ini belum memperhitungkan lahan yang akan dikonfirmasi (LAD), jumlahnya jutaan hektare. Tahun 2021 saja, ada sebanyak 2,21 juta hektare lahan sawit yang berstatus LAD.

Kalau dilihat secara komposisi, mayoritas perkebunan sawit dikuasai oleh private sector. Pada tahun 1998, dari 3,56 juta hektare, luas perkebunan sawit yang dikuasai swasta mencapai 2,11 juta. Jumlah ini setara dengan 59,3%. Perkebunan rakyat luasnya mencapai 890.506 hektare atau sekitar 25% serta perkebunan sawit negara sebesar 556.460. Luas perkebunan negara setara dengan 15,6%.

Sementara kalau dibandingkan dengan estimasi 2025 dari luas sebesar 16,83 juta, porsi perkebunan swasta sedikit menciut menjadi sebesar 54,4%. Namun secara jumlah, luasnya naik signifikan dari 2,11 juta pada tahun 1998 menjadi 9,16 juta (estimasi 2025). Terjadi kenaikan sebesar 7,05 juta hektare atau 334,12%.

Selain swasta, luas areal sawit yang mengalami kenaikan signifikan adalah perkebunan rakyat. Pada tahun 1998, luas perkebunan rakyat hanya sebesar 890.506 hektare menjadi 6.90 juta hektare atau mengalami kenaikan sekitar 6,01 juta atau 674,9%. Secara persentase, perkebunan rakyat merangkak naik menjadi 35,7%.

Alih Fungsi Hutan untuk Sawit

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2019 lalu menerbitkan sebuah laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu alias PDTT terkait perizinan sawit di Sumatra hingga Kalimantan. Pada tahun 2000-2018 saja, setidaknya ada 2,3 juta hektare kawasan hutan yang dilepas untuk perkebunan sawit.

Artinya kalau dibagi 18 sesuai periode tahun 2000-2018, setiap tahunnya ada sebanyak 128.156,97 hektare hutan yang dilepas untuk perkebunan sawit. Sementara itu, kalau jumlah itu ditambahkan dengan periode sebelum tahun 2000 yang mencapai 3,11 juta hektare, total pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menembus kisaran angka 5,41 juta hektare.

Data Pelepasan Kawasan Hutan untuk Sawit 2000-2018

TahunSebelum 20002000-2018
Riau1.041.609,971.128.178,34
Kalteng472.963,04954.824,46
Papua 55.632,54820.809,33
Papbar 47.446,8442.270,6
Kaltim 292.126,18316.039,78
Jambi291.301,15291.301,15
Kalbar79.663,1276.085,07
Sumbel69.628,4236.666,73
Provinsi Lain761.197,17952.237,53
Total3.111.587,455.418.412,99

Sumber: BPK 2019

BPK juga mencatat bahwa ada sekitar 194 perusahaan yang berada di 15 kabupaten belum memiliki hak atas tanah dalam bentuk hak guna usaha alias HGU. Luasnya mencakup 1,02 juta hektare. Lembaga auditor negara juga menemukan sekitar 349.634,68 hektare area pelepasan untuk sawit tumpang tindih dengan kawasan hutan.

Selain itu, kurang lebih 345.236,73 hektare usaha perkebunan kelapa sawit berada di Kawasan Gambut dan Hutan Lindung. Kondisi itu terutama terjadi di tiga provinsi yakni Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam sebuah acara pekan lalu mengungkapkan adanya masalah mendasar di sektor kelapa sawit. Dia menyebut bahwa ada beberapa kawasan taman nasional yang jelas haram untuk diserobot telah dieksploitasi untuk perkebunan sawit.

“Tesso Nilo itu perkebunan sawitnya menutupi 80% area Taman Nasional Tesso Nilo di Riau. Itu sangat menyedihkan sekali,” ujar Bimo, Kamis pekan lalu.

Selain Bimo, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menuturkan bahwa peninjauan udara yang menyusuri wilayah pesisir timur Aceh, dengan lintasan Tusam, Lhokseumawe, Langsa, hingga Aceh Tamiang, pihaknya menemukan indikasi kuat penyerobotan kawasan hutan dan lahan untuk aktivitas perkebunan sawit dan pertambangan ilegal, termasuk pada wilayah lereng bukit dengan tingkat kemiringan ekstrem di atas 45 derajat.

Praktik ini secara nyata menghilangkan fungsi hutan sebagai pengendali tata air alami dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. Hanif mengatakan pengelolaan lahan di kawasan dengan kemiringan ekstrem sangat berbahaya dan bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan hidup. Praktik ilegal semacam ini tidak hanya menyebabkan kerusakan hutan dan lahan, tetapi juga mengancam nyawa masyarakat yang tinggal di wilayah hilir.

“Tidak ada toleransi bagi pelanggaran yang merusak lingkungan dan membahayakan rakyat. Siapa pun yang terbukti melanggar, akan kami tindak tegas sesuai hukum yang berlaku,” katanya.

Kemplang Pajak Ekspor CPO

Selain masalah tentang deforestasi, sektor kelapa sawit juga disorot karena dugaan pengemplangan pajak dengan modus underinvoicing. Praktik ini diduga mengakibatkan kehilangan potensi penerimaan pajak hingga triliunan rupiah.

Data BPK dalam audit yang berlangsung selama Semester 1/2025 mencatat adanya dugaan ketidakwajaran transaksi crude palm oil alias CPO dan produk turunannya. Lembaga auditor negara itu melakukan simulasi dengan membandingkan harga patokan ekspor alias HPE dengan data volume ekspor yang terdapat di dalam Costums Exise Information System and Autmation alias CIESA.

Hasil simulasi BPK menemukan fakta bahwa Kementerian Perdagangan hanya menetapkan harga referensi dan tidak menetapkan secara rutin HPE secara rutin sejak pertengahan tahun 2015. Hasilnya rasio perbandingan HPE dengan harga referensi pada tahun 2014-2015 mencapai 86,98% – 141,37%.

HPE sendiri merupakan ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai dasar penghitungan bea keluar dan pungutan ekspor (PE) untuk mendukung industri kelapa sawit nasional dan penerimaan negara. Sementara itu harga referensi merupakan harga rata-rata internasional atau harga rata- rata bursa komoditi tertentu di dalam negeri untuk penetapan tarif bea keluar yang ditetapkan secara periodik oleh menteri perdagangan.

Ilustrasi pekerja di perkebunan sawit./JIBI
Ilustrasi pekerja di perkebunan sawit./JIBI

Perkiraan HPE itu kemudian dibandingkan data CIESA di Bea Cukai dan menghasilkan angka ekspor CPO dari tahun 2022-2023 yang tercatat senilai total sebesar Rp55,3 triliun. Angka tersebut kemudian kembali dianalisis dan menghasilkan sebanyak 13.174 transaksi ekspor CPO dan produk turunannya miliki harga satuan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan perkiraan HPE.

Nilainya mencapai US$1,59 miliar atau sekitar Rp23,96 triliun dengan kurs Rp15.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Potensi PPh badan dengan tarif 22% adalah Rp5,27 triliun.

Adapun Dirjen Pajak Bimo Wijayanto memaparkan bahwa otoritas pajak telah mengantongi data modus pelanggaran ekspor terbaru. Selain itu, DJP mengidentifikasi dugaan praktik penghindaran pajak lainnya seperti under-invoicing dan penggunaan faktur pajak Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (TBTS) atau faktur fiktif.  

Bimo mengimbau para “raja sawit” tersebut untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan melakukan pembetulan secara sukarela sebelum otoritas melangkah ke ranah penegakan hukum (gakkum).  “Kami mengimbau Bapak-Ibu untuk segera melakukan pembenahan secara sukarela sebelum DJP melakukan langkah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terindikasi tidak patuh,” kata Bimo saat sosialisasi dengan pengusaha sawit belum lama ini.

Bantah Deforesitasi, Tawarkan Solusi

Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyanggah jika sawit dijadikan kambing hitam dari deforestasi yang terjadi di Indonesia.

Eddy mengemukakan saat ini produksi sawit cenderung stagnan dan luasan menurut data Kementan itupun tidak ada penambahan (16,8 juta hektare termasuk milik rakyat atau pentani yang 41℅). Dia juga menyatakan bahwa perusahaannya sudah moratorium perluasan perkebunan sejak 2011.

Apalagi menurutnya sejak tahun 2019 dengan Inpres No.5, pemerintah sudah tidak memperbolehkan penerbitan izin baru. Eddy menuturkan bahwa perusahaannya saat ini lebih konsentrasi kepada intensifikasi termasuk peremajaan sawit milik perusahaan untuk peningkatan produktivitas dan produksi, memang untuk masyarakat tidak ada moratorium.

“Tetapi saya belum mendapatkan data terakhir luasan kebun sawit rakyat tetapi luasan keseluruhan termasuk perusahaan dan petani masih belum berubah. Seharusnya ini tidak ada deforestasi dari perkebunan kelapa sawit,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung, menuturkan dibukanya data sawit Indonesia oleh Satgas PKH, telah semakin menggambarkan bahwa bukan sawit penyebab deforestasi, itu poin penting yang harus dicatat bangsa ini.

Dia juga menekankan klaim 3,4 juta hektare kawasan hutan ditanami kelapa sawit tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kawasan hutan yang sudah beralih fungsi menjadi berbagai usaha dan penopang hidup manusia.

Menurutnya, hutan Indonesia 20 tahun lalu jangan dibandingkan dengan hutan indonesia 2025, manusia bertambah, kebutuhan bertambah, pembangunan membutuhkan ruang dan interaksi antara kebutuhan dan pembangunan menghasilkan Indonesia yang maju dan sejahtera seperti apa yang sudah dirasakan.

“Ia adalah benar ada kekurangan yang harus diperbaiki terkait perkebunan sawit dan itu sangat wajar, disaat negara-negara eropa dan amerika butuh ratusan tahun untuk menjadi negara maju, tentu dengan kemajuan Indonesia saat ini jauh lebih singkat dan memakmurkan dan ini sangat tidak disenangi negara lain yang mengharapkan Indonesia tetap menjadi konsumen mereka negara maju”

Terkait dengan pernyataan Bimo, Gulat menekankan bahwa pihaknya 2 tahun lalu sudah mengusulkan supaya semua produsen CPO dan pabrikan kelapa sawit menjual CPO melalui satu bursa yang dikenal sebagai Bursa CPO Indonesia ICDX.

“Dengan satu bursa semua akan tercatat, siapa yang menjual dan siapa yang membelikan untuk apa digunakan,” jelasnya.

“Satu Bursa ini akan menjadi sumber data penting di Kementerian Keuangan, Dirjen Pajak Khususnya untuk menghitung dari A sd Z, terkhusus pemasukan negara yang sepadan. Tidak terintegrasinya penjualan CPO menjadi peluang untuk praktek underinvoicing dan semua tau tentang itu.”

Sumber : bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only