Apa Bahaya PPN Naik Jadi 12 Persen Tahun Depan?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini sebesar 11 persen bakal naik jadi 12 persen tahun depan. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam Pasal 7 beleid tersebut ditetapkan tarif PPN sebesar 11 persen berlaku 1 April 2022 dari sebelumnya 10 persen. Kemudian naik lagi 1 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan.

“Tarif PPN yaitu sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025,” tulis Pasal 7 ayat 2 UU tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan perubahan pemimpin negara mulai Oktober 2024 mendatang tak akan mempengaruhi rencana yang sudah disusun.

Pasalnya, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang akan memimpin negara sebagai presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 akan meneruskan segala kebijakan yang telah diatur Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tetap kalau berkelanjutan berbagai program yang dicanangkan pemerintah tetap akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” ujar Airlangga di Kantornya, Jumat (8/3).

PPN adalah biaya tambahan yang harus dibayarkan konsumen saat membeli barang. Namun, tidak semua hal yang dibeli dikenakan PPN, melainkan hanya Barang Kena Pajak (BKP).

PPN tidak langsung disetorkan konsumen ke negara, melainkan melalui perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan penjual barang dan jasa tertentu sebagai perantara akan mengenakan PPN 12 persen ke konsumen akhir dan menyetorkannya kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Beberapa barang yang saat ini dikenakan tarif PPN adalah pembelian rumah, apartemen, sepeda motor, mobil, alat elektronik hingga jasa telekomunikasi (internet) serta perdagangan film seperti Netflix, Amazon Prime, dan Disney Hotstars.

Lalu apa dampaknya jika PPN naik menjadi 12 persen?

Kenaikan PPN tentu akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa yang kena pajak. Sebab, konsumen harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan suatu barang atau jasa yang kena pajak.

Misalnya, pelanggan yang menggunakan Netflix dengan biaya langganan Rp100 ribu per bulan, dengan PPN 11 persen, maka hanya perlu membayar pajak Rp11 ribu. Namun, dengan kenaikan 12 persen, pajaknya menjadi Rp12 ribu per bulan.

Begitu juga dengan pembelian kendaraan. Mobil dengan harga jual Rp200 juta misalnya. Saat PPN 11 persen, maka dikenakan pajak Rp22 juta sehingga total yang perlu dibayar Rp222 juta. Namun, dengan PPN 12 persen, maka naik menjadi Rp24 juta, sehingga total pembayaran lebih mahal menjadi Rp224 juta.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan ada dua kemungkinan dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen, yakni baik dan buruk.

Dampak baik, apabila kenaikan PPN digunakan untuk belanja sosial yang bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mengurangi ketimpangan. Sebab, secara ekonomi akan terjadi penguatan daya beli dan meningkatkan konsumsi.

“Jadi meskipun PPN naik, peluang untuk meningkatkan dan mengekspansi bisnis juga besar akibat peningkatan daya beli dan konsumsi. Artinya, peluang dunia usaha untuk meningkatkan produksi barang dan jasa juga semakin tinggi, karena customer base-nya meluas,” jelasnya.

Namun, jika kenaikan PPN bertujuan untuk membiayai kebijakan yang tidak terkait dengan peningkatan daya beli dan kesejahteraan rakyat, maka kondisi ekonomi akan semakin sulit.

Selain itu, daya beli masyarakat menengah atas yang selama ini menjadi penopang perekonomian bisa turun. Pasalnya, mereka akan lebih memilih menahan belanja untuk mengantisipasi dampak kebijakan PPN ini dan akhirnya dunia usaha yang akan tertekan.

“Dalam kondisi ini, dunia usaha dan rakyat merugi, hanya pemerintah yang untung,” jelasnya.

Oleh sebab itu, ia menyarankan pemerintah untuk memikirkan dengan baik kebijakan kenaikan tarif PPN ini. Apalagi, dalam UU juga diberi kelonggaran tarif PPN bisa di kisaran 5-15 persen.

“Jadi kenaikan PPN harus diperuntukan untuk kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki daya beli dan kesejahteraan masyarakat, agar ada kompensasi bisnis untuk dunia usaha yang paling terkena imbas kenaikan PPN, yakni berupa potensi perluasan customer base,” imbuh Ronny.

Kelas Menengah Paling Terdampak

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkap yang paling terdampak jika PPN naik jadi 12 persen di tahun depan adalah kelompok menengah rentan miskin.

“Ini pengaruhnya ke masyarakat kelas menengah bawah, kelompok kelas menengah atas sih nggak terpengaruh sama sekali,” ungkapnya.

Menurutnya, kenaikan PPN bakal berdampak pada lonjakan inflasi. Meski tidak besar, namun inflasi yang saat ini sudah tinggi, terutama pangan akibat kenaikan harga akan menambah tekanan ke kelas menengah bawah.

Terutama, kelas menengah bawah ini sama sekali tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Berbeda dengan kelas bawah atau masyarakat miskin.

“Kelas menengah ini bukan penerima bansos, karena hanya 40 persen terbawah dapat bansos. Desil 1-4 jadi kewajiban pemerintah support melalui bansos. Nah, desil 5-6 ini yang harus kita pertimbangkan. Mereka nggak dapat bansos tapi biaya hidup, dampak dari inflasi ngaruh ke mereka dan pendapatannya nggak naik banyak,” jelasnya.

Namun, lanjut Josua kalau kenaikan PPN di tahun depan tidak dibarengi dengan kebijakan lainnya, maka tekanannya mungkin bisa diminimalisir. Sebab, barang yang terdampak kenaikan PPN bukan kebutuhan primer.

“Seandainya hanya kenaikan PPN dan nggak ada kenaikan lain seperti listrik tetap, LPG tetap, harga bahan pokok stabil, ya mungkin dampak ke konsumsi secara keseluruhan tidak se signifikan itu. Mungkin terpengaruh ke kelas menengah rentan miskin cuma sedikit,” jelasnya.

Sementara, Ekonom LPEM UI Teuku Riefky menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen di tahun depan sangat tepat. Sebab, tarif Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara lainnya.

Riefky menilai jika ingin mendorong belanja pemerintah, belanja sosial, hingga pembangunan infrastruktur, maka perlu penerimaan pajak yang tinggi.

Artinya, penerimaan negara juga harus ikut terkerek dan itu melalui pajak karena 80 persen penerimaan negara ditopang oleh pendapatan pajak.

“Kenaikan PPN saat ini cukup tepat karena PPN kita relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Jadi memang harusnya sudah naik dari lama dan memang penerimaan pajak kita masih sangat rendah, tax ratio menjadi isu,” jelasnya.

Ia menilai kenaikan PPN tidak akan terlalu menekan daya beli masyarakat. Apalagi, nantinya uang pajak yang naik akan dibelanjakan kembali pemerintah untuk membantu masyarakat miskin.

“Jika memang daya beli masyarakat rentan dan miskin rentan turun, ini pemerintah bisa cover melalui bantuan sosial. Sejauh ini inflasi kita juga relatif manageable, meski belakangan ada isu dari inflasi pangan tapi secara struktural nampaknya PPN ini tidak akan terlalu berdampak signifikan terhadap kenaikan inflasi,” pungkasnya.

Sumber : cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only