Daya Beli Akan Melemah Jika Tarif PPN Meningkat

Kenaikan tarif PPN 12% berpotensi menjadi batu sandungan pertumbuhan ekonomi nasional

Pemerintah kembali menunda penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar12%. Saran ini mempertimbangkan kondisi perekonomian, terutama daya beli masyarakat yang masih melemah.

Seperti diketahui, tarif PPN 12% adalah amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasal 7 Ayat 11 UU Nomor 7 Tahun 2021 tersebut mengatur bahwa tarif PPN yang semula sebesar 10% naik menjadi 11% dan berlaku sejak April 2022. Tarif ini akan kembali naik menjadi 12% selambat-lambatnya berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) EKo Listiyanto berpendapat, kebijakan menaikkan tarif PPN perlu melihat perkembangan ekonomi terkini. Menurut dia, kondisi perekonomian saat ini dan ke depan belum siap dibebani kenaikan PPN.

Salah satu contohnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartas I-2024 yang tak mampu tumbuh 5,2% year on year (yoy) sebagaimana target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Meski ada dukungan momentum pemilihan umum (pemilu), Ramadahan dan persiapan Lebaran, perumbuhan ekonomi selama tiga bulan pertama di tahun ini hanya mrncapai 5,11% yoy.

Ia melihat, daya beli masyarakat tertahan lantaran pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2024 di bawah 5% tepatnya hanya mencapai 4,9% yoy. Selain itu, realisasi penerimaan PPn dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) periode tersebut tercatat hanya Rp 155,79 triliun, terkoreksi 16,25% yoy.

“Belum juga tarif PPN naik, konsumsi sudah mulai melambat. Kenaikan PPN tahun depan akan menjadi batu sandungan target pertumbuhan ekonomi,” kata Eko kepada KONTAN, Minggu (12/5).

Menilik data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada April 2022, setoran PPN dan PPnBM di sepanjang 2022 mencatatkan pertumbuhan sebesar 24,6% yoy, lebih tinggi daripada pertumbuhan pada tahun sebelumnya yang hanya 22,6% yoy.

Sayangnya di 2023, realisasi pajak konsumsi tersebut hanya tumbuh 11,2% yoy. Bahkan, pertumbuhan PPN dan PPnBM atas target 2024 dibandingkan tahun sebelumnya jauh melambat menjadi hanya 6,16% yoy.

Di sisi lain, calon presiden dan calon wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menargetkan rasio perpajakan Indonesia melesat ke level 23% selama lima tahun pemerintahan baru menjabat.

Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, jika target tersebut dianggap rasional bagi pemerintahan baru, maka tidak perlu ada perubahan tarif 12% sesuai UU HPP. Asalkan, “Pemerintah baru harus terus mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan antar daerah. “Dengan demikian, pelemahan daya beli masyarakat yang terjadi saat ini tidak berlangsung lama,” kata dia.

Perlu antisipasi

Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar bilang, secara hukum, pemerintah bisa menaikkan tarif PPN menjadi 12% sebekum awal 2025. Namun, jika hal tersebut dilakukan, pemerintah perlu menyiapkan langkah antisipasi. “Seperti megngelola inflasi. Bagi sektor tertentu, yang memiliki margin usaha kecil kurang lebih 1%, menurut saya perlu ada solusi administrasi,” kata dia.

Secara terpisah, di Kolase Kanisius, Sabtu (11/5) lalu, Menteri Koordinator Bidan Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan strategi pemerintah ke depan bukan mengerek PPN. “Tetapi mengerek penghasilan pajak. Tentu mengerek penghasilan pajak diharapkan dengan implementasi sistem yang lebij baik,” ungkap dia.

Sumber: Harian Koran, Senin 13 Mei 2024, Hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only