Pajak Penambang Jumbo Dikerek Lebih Tinggi

Pemerintah ingin memaksimalkan penerimaan negara dari perusahaan pemegang izin PKP2B

JAKARTA. Pemerintah ingin menggenjot penerimaan negara dari sektor pertambangan batu bara. Tekat itu tercermin dari pembahasan Rancanagan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlakuan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan batu bara.

Agaknya pemerintah memang ingin memaksimalkan penerimaan dari produsen batu bara berskala besar, yakni pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Direktur eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia membenarkan, skema perpajakan PKP2B lewat beleid tersebut akan lebih besar dibandingkan tarif perpajakan sebelumnya.

“Karena pemerintah ingin memastikan, dalam hal perpanjangan izin PK2B, pemerintah mendapatkan penerimaan negara lebih banyak sesuai amanat UU Minerba,” uajar dia, Selasa(22/1).

Selain RPP Perlakuan Perpajakan dan PNBP, pemerintah ingin melonggarkan aturan perpanjangan izin usaha PKP2B.sebelumnya, perusahaan hanya boleh mengajukan perpanjangan izin paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir.

Melalui revisi keenam Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara, pemerintah akan melonggarkan masa pemohonan perpanjangan menjadi lima tahun sebelum kontrak berakhir.

Soal RPP Perlakuan Pajak, Hendra tidak bisa menjelaskan lebih mendetail kerangka yang diajukan pemerintah. Mengacu data yang diterima, pemerintah akan mematok bagian negara atau hasil produksi batu bara (DHPB) menjadi 15% dari sebelumnya 13,5%.

“Tapi kami tidak tahu infoterakhir, apakah itu ada perubahan atau tidak dari RPP yang beredar sebelumnya,” ucap Hendra.

Kepala Biro Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hufron Asrofi mengakui penerimaan  negara dalam paket RPP itu nantinya akan lebih besar. “Iya dong, kita harus begitu,” ujar dia, tanpa membeberkan detail skema perpajakan itu.

Saat ini, Rancangan PP tersebut tinggal menunggu tanda tangan Kementerian BUMN. “Menkeu (Sri Mulyani) sudah paraf, Menteri ESDM sudah. Tinggal paraf Menko (Kemaritiman), tapi kami menunggu diparaf terlebih dahulu Menteri BUMN (Rini Soemarno),” ungkap Hufron.

Kepala Pusat Kebijakan Pendanaan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Rofianto Kurniawan menyampaikan, paket PP tersebut bisa segera terbit pada bulan ini . “Kami mengharapkan selesai pada bulan Januari ini,” ujar dia.

Sebelumnya Rofianto mengatakan skema penerimaan negara di PP itu akan menggunakan skema campuran. Ada beberapa ketentuan perpajakan yang bersifat naildown alias persentase pajak yang bersifat tetap, namun ada beberapa komponen penerimaan negara yang memakai skema prevailing alias tarif bisa berubah mengikuti perubahan peraturan. “Beberapa pajak naik down dan beberapa prevailing,” ungkapRofianto.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) YustinusPrastowo berpendapat, skema pungutan pajak kombinasi antara nail down dan prevailing cukup ideal.

Hal tersebut lantaran menyesuaikan kondisi dan tren perpajakan di industri pertambangan batu bara dimasa mendatang. “UU Minerba sebenarnya prevailing . Sementara rezim Kontrak Karya (KK) dan PKP2B memang nail down, masing-masing ada kelebihan dan kekurangan,” jelas dia. Yustinus bilang, ada konteks yang melatari penerapan skema penerimaan negara. Saat kontrak diteken dalam rezim KK dan PKP2B, itu merupakan fase awal negara membutuhkan investasi yang cukup besar.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only