Belanja Perpajakan Perlu Dievaluasi

Belanja perpajakan yang dialokasikan pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya perlu dievaluasi. Di satu sisi, perekonomian dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Di sisi lain, ruang fiskal pemerintah juga sempit.

Pada 2025, pemerintah memproyeksikan belanja perpajakan senilai Rp 445,5,triliun, naik 11,4% dibandingkan rencana belanja perpajakan tahun ini senilai Rp 399,9 triliun. Angka ini juga naik dibandingkan tahun 2020 senilai Rp 246,1 triliun. Belanja perpajakan 2025 paling besar untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) senilai Rp 265,6 triliun. Sementara berdasarkan sektornya, belanja perpajakan tahun pertama Presiden Prabowo Subianto untuk industri pengolahan sebesar Rp 122,3 triliun.

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai, pemerintahan Prabowo perlu memangkas belanja perpajakan yang tidak tepat sasaran di tengah sempitnya ruang fiskal tahun depan. Hal itu memang tak akan mudah lantaran selama ini kajian atau evaluasi menyeluruh tentang belanja perpajakan tidak dilakukan.

Bukan hanya itu, tanpa kajian dan evaluasi yang sudah dilaksanakan lima tahun terakhir, pemerintah juga akan kesulitan menentukan belanja perpajakan untuk sektor prioritas. Ambil contoh, apabila belanja perpajakan PPN dan PPnBM dipangkas, maka akan berdampak terhadap daya beli masyarakat. Sementara jika PPh sektoral yang dipangkas, akan berdampak terhadap investasi. “Ada kesan kebijakan belanja perpajakan lebih berdasar hipotesa teoritis yang mungkin tampak kuat, namun setelah dijalankan tak dievaluasi,” ujar Awalil, Minggu (27/10).

Namun, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menilai, belanja perpajakan tahun depan akan sulit dipangkas mengingat Prabowo berambisi meningkatkan tax ratio ke level yang cukup tinggi. Risikonya, Prabowo harus berinvestasi lebih banyak untuk mengerek penerimaan pajak, baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan belanja-belanja lain yang terkait perbaikan kinerja perpajakan.

“Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak, tak mungkin belanjanya dipangkas. Justru investasi untuk lembaga dan badan yang terkait dengan perpajakan harus ditingkatkan, bukan malah dipangkas,” kata dia.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menambahkan, untuk tahun depan, insentif tidak terlepas dari pajak ditanggung pemerintah (DTP). Adapun sektor transisi energi dan perumahan masih menjadi primadona.”Kedua sektor itu memiliki multiplier effect bagi industri lainnya,” kata dia.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only