Mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, mendesak pemerintah membatalkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Ia mengusulkan agar PPN bisa kembali ke 10%.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 melalui Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menuai kritik. Menurut Hadi, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar tarif PPN 12% dalam UU HPP bisa dibatalkan.
“Penerbitan Perppu dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan tarif PPN. Karena ini kan sudah diatur undang-undang di UU HPP,” imbuh Hadi dalam keterangan tertulis, Senin (2/12/2024) dilansir.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2009-2014 itu menilai jika mengacu pada UU HPP, PPN 12% ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Artinya, masih ada waktu satu bulan untuk membatalkan aturan tersebut.
“Waktu yang singkat ini masih bisa dilakukan pemerintah dengan menerbitkan perppu karena hanya membutuhkan persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto,” ungkap Hadi.
PPN Bebani Masyarakat
Hadi mengatakan, berdasarkan data BPS, sebagian besar tenaga kerja Indonesia lebih dari 50 juta orang berpendidikan rendah dengan daya beli terbatas. Kenaikan tarif PPN akan menambah beban mereka, mengurangi daya beli, dan memperparah ketimpangan sosial-ekonomi.
Berdasarkan data Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBN) 2025, ketergantungan terhadap PPN yang mencapai 43,2% dari total penerimaan pajak, juga menjadi perhatian. Hadi menegaskan kebijakan perpajakan harus melindungi daya beli rakyat kecil dan mendorong pemerataan ekonomi.
“Mengandalkan PPN sebagai sumber utama hanya akan membebani masyarakat kecil yang mayoritas pendapatannya untuk konsumsi,” ujar Hadi.
Hadi juga menyoroti inkonsistensi regulasi sebagai hambatan utama pengawasan pajak yang efektif. Hal ini menyebabkan munculnya aturan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum atau pembatasan nilai yang tidak relevan.
Dia mengusulkan agar fokus utama dalam perbaikan sistem perpajakan adalah pada penyelarasan peraturan-peraturan agar lebih konsisten dan terintegrasi.
Selain itu, penting juga untuk mengembangkan dan memperkuat alat monitoring yang memungkinkan otoritas pajak dapat memverifikasi pelaporan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sehingga prinsip self-assessment dapat dijalankan dengan lebih efektif dan akuntabel.
“Kalau sistem ini diterapkan, keadilan perpajakan akan terwujud. Petugas pajak tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Ini adalah kunci untuk menciptakan keadilan pajak,” kata Hadi.
Dengan sistem monitoring self-assessment, transparansi yang dihasilkan memungkinkan perluasan basis pajak yang lebih akurat. Hal ini membuka peluang untuk menurunkan tarif pajak tanpa mengurangi penerimaan negara karena basis pajak yang lebih luas tetap mampu mendukung peningkatan rasio pajak secara signifikan.
Dengan demikian, jika semua pembenahan telah dilakukan, tarif PPN bisa diturunkan kembali menjadi 10 persen sehingga daya beli masyarakat meningkat tanpa mengurangi penerimaan negara. Tarif PPN yang lebih rendah juga akan membuka ruang ekonomi untuk meningkatkan konsumsi masyarakat
“Bukan menaikkan tarif yang jadi solusi. Yang penting adalah SPT Wajib Pajak mampu diuji meningkatkan kepatuhan, dan memastikan sistem pengawasan yang mampu menciptakan keadilan, transparansi, dan efisiensi,” jelasnya.
Sumber : Detik.com
Leave a Reply