Sri Mulyani Ogah Jawab Pertanyaan soal PPN 12%

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menolak menjawab pertanyaan mengenai kepastian penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025.

Sri Mulyani masih irit bicara terkait kebijakan pemerintah untuk meningkatkan tarif tersebut. Alih-alih langsung menjawab, Sri Mulyani meminta agar pertanyaan wartawan mengenai kenaikan PPN itu dijawab oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

“Nanti Pak Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto) aja yang menyampaikan ya,” ucap Sri Mulyani secara singkat di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Selasa (2/12/2024).

Saat ditanya lebih lanjut, Sri Mulyani juga tak menjawab pertanyaan awak media. Padahal, kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN mendapatkan penolakan baik dari kalangan masyarakat maupun kalangan pengusaha.

Pemerintah menargetkan realisasi penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun. Untuk jenis pajak PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) diperkirakan akan mencapai Rp 945,1 triliun. Angka ini tumbuh 13,32% dari outlook realisasi PPN dan PPnBM tahun 2024 yang sebesar Rp 819,2 triliun.

Berdasarkan kajian dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, apabila pemerintah tetap ngotot untuk meningkatkan tarif PPN maka penerimaan pajak pada tahun 2025 tidak akan tercapai sesuai harapan.

Pasalnya perlambatan konsumsi rumah tangga yang terjadi pada tahun 2024 diprediksi masih akan berlanjut pada tahun 2025. Salah satu penyebabnya adalah pelemahan konsumsi kelas menengah dan calon kelas menengah yang merupakan kontributor utama konsumsi.

Kelas menengah yang mencapai 52 juta orang atau 19% total penduduk Indonesia, berkontribusi terhadap total konsumsi 40% total konsumsi. Sementara calon kelas menengah dengan jumlah 148 juta jiwa atau 54% dari total penduduk berkontribusi terhadap 44% pengeluaran konsumsi.

Meski demikian, jumlah penduduk kelas menengah menurun sebesar 9 juta jiwa selama periode 2018-2023, dari 61 juta jiwa menjadi 52 juta jiwa. Jumlah mereka turun sebesar 8% selama periode tersebut.

Kebijakan yang “Menyedihkan”

Sebelumnya Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana ikut menyayangkan arah kebijakan pemerintah saat ini yang rela menambah beban pajak PPN selagi kembali memberikan pengampunan pajak hanya untuk menambah penerimaan negara. Ia menyebutkan kondisi menyedihkan pemerintah dalam menghimpun dana ini sangat berbalik dengan optimisme yang digaungkan tahun lalu.

“Tampaknya pemerintah sudah menyadari bahwa mencari pendanaan dari utang kini jauh lebih sensitif dampaknya terhadap perekonomian dibandingkan dengan kepercayaan Pak Prabowo tahun lalu yang mengatakan bahwa rasio utang Indonesia masih sangat aman,” terang Andri.

Padahal, penarikan utang baru di tahun depan sudah direncanakan pemerintah dalam APBN 2025 menjadi penambahan utang terbesar setelah tahun-tahun pandemi. Andri menuturkan bahaya kembalinya digunakan tax amnesty untuk menambah pendapatan negara. Kebijakan tersebut dipastikan akan berdampak buruk dalam jangka panjang.

“Kalau tax amnesty ini kembali dilakukan, pengemplang pajak bisa memprediksi bahwa tax amnesty akan kembali lagi dan lagi setiap pemerintah kesulitan keuangan, yang mana ke depan akan semakin sering terjadi karena dampak tax amnesty ini sendiri,” tutur Andry.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only