JAKARTA. Tahun 2024 segera berakhir. Berbagai outlook untuk meraba arah perekonomian tahun 2025 telah dilakukan oleh sejumlah lembaga. Salah satunya Dana Moneter International (IMF) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2024 dan 2025 cenderung stagnan di level 3,2% diikuti dinamika risiko yang menyertainya.
Harus diakui pertumbuhan ekonomi global setelah pandemi Covid-19 cenderung melambat dan tidak rata. Sepanjang periode 2000-2019, rata-rata pertumbuhan ekonomi global masih di level 3,8% per tahun. Namun di periode 2024-2029, rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi turun menjadi 3,2% per tahun.
Kinerja perekonomian Amerika Serikat (AS) setelah pandemi cukup solid dan bisa lepas dari jeratan resesi imbas dampak inflasi dan suku bunga tinggi. Bahkan kinerja yang positif ini diprakirakan masih berlanjut pada 2025. Meski begitu, risiko juga mengintai akibat besarnya beban utang dan defisit fiskal pemerintah. Saat ini, rasio utang AS sebesar 122% dari produk domestik bruto (PDB) dengan rata-rata defisit dalam empat tahun terakhir mencapai 7,8% dari PDB. Kondisi inilah yang berpotensi membuat perekonomian berisiko dan tidak berkelanjutan, ketika terjadi gejolak (shock) ekonomi dan perubahan kebijakan.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan melambat. Pada 2025, pertumbuhan ekonomi China hanya di level 4,5%. Melambatnya kinerja ekonomi China tidak dapat dilepaskan dari melemahnya daya beli dan lanjutan dari krisis sektor properti. Situasi makin sulit karena ekonomi China menghadapi “utang tersembunyi” (hidden debt). Utang ini digunakan untuk pembiayaan berbagai proyek infrastruktur dan pembangunan ekonomi yang tidak dikelola dengan transparan.
Menurut Dana Moneter International dan S&P Global Ratings, nilai utang tersembunyi ini diestimasi mencapai US$ 14 triliun-US$ 15 triliun. Jika utang tersembunyi ini tidak bisa dimitigasi, maka berpotensi memicu sejumlah risiko sistemik.
Di tengah kinerja ekonomi global yang melambat dan tidak merata itu, sejumlah risiko juga patut diwaspadai di tahun 2025. Pertama, dampak dari kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump yang inward looking, khususnya kebijakan perdagangan internasional yang protektif dan ditengarai bisa memicu sejumlah efek samping.
Salah satunya potensi rebound inflasi AS yang dalam dua tahun terakhir mampu dinavigasi turun. Jika kondisi ini terjadi, maka ruang pemangkasan suku bunga kebijakan (FFR) yang lebih agresif dari The Fed berpotensi tertunda. Sinyal ini telah diberikan The Fed, di mana FFR pada 2025 diperkirakan hanya turun 50 bps dari sebelumnya 100 bps.
Perubahan stance suku bunga ini berpotensi memicu pembalikan arus modal dari pasar keuangan di kawasan emerging, termasuk Indonesia. Implikasinya, nilai tukar akan cenderung berfluktuasi serta menekan harga aset portofolio investasi.
Sehingga, untuk memitigasinya, maka bank sentral di negara berkembang akan cenderung memilih mempertahankan suku bunga agar menarik minat investor global untuk berinvestasi dan menahan aliran modal keluar. Namun implikasinya bisa menahan akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, risiko geopolitik harus terus dicermati. Konflik militer di sejumlah wilayah sangat terbuka untuk meningkat. Jika tensi konflik kembali naik, maka bisa mendorong harga komoditas dan menghambat rantai pasok. Pendek kata, risiko geopolitik tetap jadi game changer terhadap kinerja ekonomi global.
Stimulasi daya beli
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan masih positif. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi domestik pada 2024-2027 rata-rata di level 5,1% dengan inflasi terkendali rendah. Meski begitu, untuk mencapai kinerja pertumbuhan itu tidaklah mudah. Sebab, risiko eksternal dan internal juga mengintai, sehingga sangat berpotensi melemahkan kinerja pertumbuhan.
Kebijakan perdagangan Donald Trump yang sangat protektif dan perlambatan ekonomi China berpeluang makin mengempiskan surplus neraca perdagangan yang mampu dicapai dalam tiga tahun terakhir. Alhasil, kemampuan mendulang devisa dan pajak yang lebih besar bisa menurun. Selain itu, terbatasnya ruang pemangkasan suku bunga, sebagai upaya Bank Indonesia menjaga stabilitas rupiah berdampak pada penetrasi kredit. Memang, Bank Indonesia memberikan insentif pada sektor perbankan melalui Kebijakan Insentif Makroprudensial (KIM) yang nilainya mencapai Rp 283 triliun di 2025. Melalui KIM ini, perbankan diharapkan terpacu untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif, seperti UMKM.
Meski begitu, mengingat adanya isu pelemahan daya beli dan masih maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor produksi akan membuat perbankan lebih selektif dan berhati-hati untuk menyalurkan kredit.
Bahkan, alih-alih menyalurkan kredit, likuiditas yang tidak tersalur merangsang perbankan untuk memarkirnya di Sertifikat Bank Indonesia (SRBI), karena tingginya bunga yang diberikan. Gelagat ini dapat dilihat sepanjang 2024. Sampai pertengahan Desember 2024, total kepemilikan perbankan di SBRI sampai pertengahan Desember 2024 mencapai Rp 940 triliun. Perebutan likuiditas antara BI, pemerintah dan korporasi patut diwaspadai di tahun 2025. Akibat utang jatuh tempo yang besar dan ketika terjadi gejolak rupiah.
Di tengah kondisi yang cukup pelik ini, maka pemerintah harus dapat memaksimalkan peran fiskal untuk memengaruhi perekonomian, khususnya dalam menstimulasi daya beli. Masalahnya, kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% dan berbagai pungutan lainnya menjadi kontraproduktif terhadap daya beli. Padahal, konsumsi kerap jadi penyelamat pertumbuhan ekonomi, di kala situasi eksternal memburuk.
Memang, pemerintah menebar sejumlah insentif atas kenaikan PPN. Namun, bagaimana menjamin efektivitas dan efisensi dari insentif ini. Lebih jauh, sejumlah kelas menengah merasakan adanya unsur ketidakadilan. Sebab, berbagai insentif yang selama ini diberikan cenderung bias pada kelompok pendapatan bawah dan pendapatan atas. Padahal, ketika pemerintah membutuhkan kenaikan pajak, kelompok menengah yang kerap jadi sasaran. Untuk itu, isu ketidakadilan dari kelompok menengah ini harus dapat dikelola oleh pemerintah agar tidak berubah menjadi social unrest seperti terjadi di Cile pada 2019 lalu.
Pemerintah harus mengarahkan investasi langsung untuk masuk ke sektor padat karya agar peluang penciptaan lapangan kerja makin besar. Tidak hanya bias ke sektor padat modal. Sebab harus diakui dalam 10 tahun terakhir, lapangan kerja formal makin susut. Sebaliknya, lapangan kerja informal makin mengelembung. Informalitas ekonomi ini tidak bisa dibiarkan.
Namun, agar investasi langsung ini masuk ke sektor padat karya, sangat dibutuhkan keinginan politik yang tinggi dari pemerintah, khususnya dalam menghadirkan penegakan hukum dan regulasi yang konsisten dan ekonomi biaya tinggi yang berasal dari tidak efisiennya birokrasi. Ini pekerjaan besar yang sampai saat ini belum berhasil dituntaskan pemerintah dengan baik.
Sumber : Harian Kontan Senin 30 Desember 2024 hal 15
Leave a Reply