JAKARTA. Ambisi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5% tampaknya belum akan berjalan mulus. Keinginan mendorong laju ekonomi ke level 8% bakal dibayangi sejumlah tantangan, yang tak hanya berasal dari pasar global, tetapi juga domestik.
Dari mancanegara, kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, terutama kenaikan tarif impor turut mengerek ketegangan hingga menahan laju ekonomi global. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 melambat menjadi 3,1% dari 3,2% di 2024.
Inflasi dunia juga diprediksi meningkat lantaran risiko gangguan rantai suplai. Akibat tingginya inflasi, Bank Sentral AS alias The Fed berpotensi lebih lambat memangkas suku bunganya.
Belum lagi kebijakan fiskal AS yang lebih agresif berisiko mendorong imbal hasil alias yield US Treasury tetap tinggi. Hal ini menyebabkan dolar AS menguat dan menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Kombinasi tantangan global akan berdampak terhadap kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia alias BI-Rate.
Dari pasar domestik, tantangan terutama berasal dari pelemahan daya beli masyarakat akibat berkurangnya populasi kelas menengah. Belum usai persoalan itu, daya beli masyarakat bakal dihantam kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025.
Akibat kenaikan tarif PPN, laju inflasi domestik diperkirakan meningkat dari target 1,5%-3,5% pada tahun depan. Padahal konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) dengan porsi lebih dari 50%.
Dengan berbagai tantangan itu, ekonomi Indonesia pada tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto diperkirakan masih sulit keluar dari jebakan 5%. Apalagi, pemerintah menghadapi tantangan fiskal yang tak ringan.
Sejumlah lembaga internasional memprediksi, ekonomi RI di 2025 hanya berkisar 5%-5,3%, stagnan dari pertumbuhan ekonomi 2024 yang diestimasi 5%-5,2%. Bahkan Moody’s Analytics lebih pesimistis dengan memprediksi pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 4,8%, melambat dari tahun ini yang diperkirakan 5%. BI juga memperkirakan batas bawah pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 4,8%, naik tipis dari proyeksi batas bawah 2024 sebesar 4,7%.
Dengan modal awal yang minim, otomatis pemerintahan Prabowo juga akan semakin sulit mengejar cita-cita pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% pada akhir pemerintahanya nanti. Namun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Presiden Prabowo masih optimistis Indonesia bisa mencapai pertumbuhan 8% dalam lima tahun.
“Pak Presiden Prabowo bekerja cepat dan dalam waktu kurang dari 60 hari atau tepat 60 hari sudah diluncurkan 15 paket ekonomi, sudah diputuskan kenaikan UMP yang 6,5%,” kata Airlangga, pekan lalu.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengklaim dampak tarif PPN 12% terhadap pertumbuhan ekonomi domestik tidak terlalu signifikan. Kalkulasi pemerintah, pertumbuhan ekonomi 2024 tetap di atas 5,0%. Adapun pertumbuhan ekonomi 2025 tetap dijaga sesuai target APBN sebesar 5,2%.
Hal ini tidak terlepas dari berbagai stimulus yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Febrio menyebutkan, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus yang mencakup bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan (PPh) selama setahun bagi buruh di sektor tekstil, pakaian, alas kaki dan furnitur, hingga pembebasan PPN untuk pembelian rumah dan kendaraan listrik.
Tekanan ekspor
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tahun depan akan tergerus 0,02% akibat kebijakan PPN 12%. Pasalnya, kebijakan ini akan menggerus konsumsi masyarakat dan menekan penyerapan tenaga kerja. Alhasil, keinginan pemerintah untuk memacu setoran pajak pun tak akan tercapai.
Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto melihat ekonomi Indonesia masih akan tumbuh kuat pada tahun depan. Ia menilai, insentif yang diberikan pemerintah seperti diskon tarif listrik selama dua bulan serta bantuan beras juga dapat mengerek konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi.
Selain konsumsi domestik, Myrdal juga berharap investasi asing atau foreign direct investment (FDI) tetap mengalir di dalam negeri. Sayangnya, ekspor akan mengalami tekanan akibat kondisi geopolitik global yang tidak stabil dan harga komoditas yang stagnan.
Secara keseluruhan, Myrdal memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh di level 5,17% hingga 5,32% pada tahun depan
Sumber : Harian Kontan Senin 23 Desember 2024 hal 13
Leave a Reply