Genjot Ekspor dengan Mengurangi Pungutan dan Membidik Pasar Non tradisional

Upaya pemerintah memacukinerja ekspor lewat kebijakan penyederhanaan prosedur memeng berpotensi mendongkrak pengiriman barang dagangan ke luar negeri. Tapi, hasilnya tidak bisa kelihatan dalam jangka pendek.

Sebab, problem utama saat ini disisi permintaan, yakniperlambatan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor kita. “Reformasi perizinan memang penting, namun perlu enam sampai Sembilan bulan untuk melihat hasil yangoptimal,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Indef.

Karena itu, penyederhanaan prosedur saja engga cukup. Dalam jangka pendek pemerintah juga perlu mengurangi pungutan ekspor minyak kelapa sawit (CPO). Itu terbukti efektif mendorong kinerja ekspor. “Tinggal hambatan-hambatan atas produk lain juga dikurangi, khususnya bea keluar,” ujar Bhima.

Selain kemudahan prosedur dan tarif, tim negosiasi dan promosi perdagangan bentukan pemerintah perlu mendapat tambahan aggaran. Bhima berpendapat, di era perang dagang, fungsi dari tim negosiasi dan promosi tersebut sangat vital.

Sementara dalam jagka menengah hingga panjang, pemerintah mesti terus berupaya memperlebar pasar ekspor ke nagara-negara tujuan non tradisional. “Tentu ini membutuhkan akselerasi perjanjian dagang khususnya degan negara di Kawasan Afrika dan Timur Tengah. Selama ini, kalangan pemgusaha masih terhambat bea masuk yang cukup tinggi dan hambatan non tarif,” imbuh Bhima.

Soalnya, ketergantungan ekpor pada pasar tradisional, seperti China dan Amerika Serikat (AS), jadi pemicu defisit neraca perdagangan. Ketika terjadi perang dagang AS dengan China, maka permintaan bahan baku otomatis turun,” jelas dia.

Padahal ekspor kita masih didominasi bahan baku dan olahan primer yang rentan terkena fluktuasi harga komoditas global. Disisi lain, impor bahan bakar minyak (BBM) yang besar di tengah kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah membuat defisit neraca dagang migas membengkak.

Sedang mandatori perluasan solar dengan campuran 20% minyak sawit alias B20 belum efektif. Sebab, masih terkendala pasokan FAME dan distribusi ke pengguna. Adapun upaya menekan impor lewat kebijakan tarif pajak penghasilan (PPh) juga belum efektif. Kebijakan itu masih mengatur barang impor konsumsi yang porsinya relative kecil.

Muhammad Lutfi, mantan Menteri Perdagangan berpendapat, pembangunan kilang minyak harus jadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan impor migas. Pembangunan kilang akan akan memacu pengembangan 16 industri turunan, terutama petrokimia yang juga membebani neraca dagang.

Sumber : Harian Kontan 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only