Mau Evaluasi, Kemudahan Berbisnis Dibenahi Lagi

World Bank mulai mengevaluasi indikator kemudahan berusaha mulai Februari hingga Agustus

Jakarta. Pemerintahan Joko Widodo, Jusuf Kalla, masih serius mengejar salah satu janji kampanye di penghujung kepemimpinan, yakni target peringkat kemudahan berusaha atau ease of doing bussines (EODB) di 40 besar. Pemerintah mulai membahas upaya peningkatan EODB. Pasalnya, Februari hingga Agustus, Bank Dunia akan kembali mengumpulkan dan menganalisis data dari Indonesia untuk menentukan peringatan EODB tahun 2020.

Sejauh ini rangking EODB masih jauh dari target. Sampai November 2018, peringkat EODB Indonesia untuk  2019 justru dirilis menurun satu peringkat ke posisi 73 dari 190 negara. Indonesia turun peringkat meski mengalami kenaikan nilai sebesar 1,42 poin menjadi 67,96.

Indonesia mengalami penurunan tingkat dalam hal urusan perizinan konstruksi (dari 108 ke 112), perlindungan investor minoritas (dari 43 ke 51), perdagangan lintas batas (dari 112 ke 116), dan penegakan kontrak (dari 145 ke 146). Indonesia naik peringkat dalam hal indikator memulai bisnis (dari 144 ke 134), mendapatkan listrik (dari 38 ke 33), pendaftaran properti (dari 106 ke 100), mendapatkan pinjaman (dari 55 ke 44), pembayaran pajak (dari 114 ke 112), dan penyelesaian pailit (dari 38 ke 36).

Mulai pekan ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian secara marathon mengundang sejumlah kementerian untuk membenahi EODB. Namun, hingga kini belum ada hasil pasti.

Dalam wawancara belum lama ini, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, menegaskan, untuk menuju peringkat ke 40 butuh lompatan besar. Tak heran, EODB masuk sebagai salah satu dari 25 program prioritas Kemenko Perekonomian tahun ini.

Dalam program prioritas tersebut, pemerintah akan fokus memperbaiki empat indikator yang mengalami penurunan nilai tahun lalu.

Misalnya perizinan kontruksi, pemerintah melanjutkan perluasan cakupan pelayanan pendaftaran usaha serta perizinan bangunan yang disederhanakan dan berbasis online. “Izin konstruksi ini kan terkait IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang mestinya selesai dengan OSS (Online Single Submission). Penilaian tahun lalu kan OSS ini belum berjalan,” kata Susiwijono.

Kendati demikian, implementasi OSS masih butuh banyak perbaikan. Hal ini diakui Kepala Badan Koordinasi Penanaman  Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong, Rabu (6/2) lalu, “Masih cukup banyak kesulitan. Satu per satu seperti masalah software, masalah konektivitas akan kita benahi sekarang,” ujar Tom, panggilan akrab Thomas.

Sinkronisasi kebijakan

Tom berkomitmen akan memperbaiki pelaksanaan OSS pasca program tersebut dialihkan ke BKPM awal tahun ini. Harapannya, layanan OSS dapat masuk ke fase yang benar-benar mengawal dan memfasilitasi proses masuknya investasi yang membutuhkan integrasi kordinasi  antar kementerian dan lembaga.

Sebagai langkah awal, peningkatan sinkronisasi pusat dan daerah dalam penyelenggara OSS. BKPM akan menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Tahunan dengan mengundang 530 BKPM daerah di pertengahan  Maret. Dengan ini targetnya kami bisa meluncurkan fase selanjutnya dari OSS,” tandas Tom.

Begitu juga dengan indikator perdagangan lintas batas, pemerintah mendorong efisiensi layanan dan biaya logistik agar dapat terselenggara sepenuhnya secara online. Ini agar transparansi dan kepastian standar layanan semakin meningkat guna memfasilitasi kegiatan ekspor dan impor melalui pelabuhan.

Upaya ini mulai terealisasi melalui simplifikasi aturan ekspor kendaraan bermotor dalam keadaan utuh atau completely built up (CBU) yang berlaku 1 Februari 2019. Perubahan kebijakan dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor PER-01/BC/2019 tentang Tata Laksana Ekspor Kendaraan Bermotor dalam Bentuk Jadi di bawah Kementerian Keuangan.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menganalisa, pemerintah sudah punya banyak ide membenahi rangking EODB. Namun, implementasi di lapangan terkendala.

“Kawsan berikat, misalnya, perlu dievaluasi lagi karena sebenarnya tidak semua industri mesti wajib menggunakan kawasan berikat. Bagi industri yang sudah punya jalur distribusi bagus dan efektifm kewajiban ini justru menyulitkan,” kata Faisal.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only