Menolak Kenaikan Pajak Rumah Tapak

Wacana kenaikan pajak rumah tapak yang digulirkan pemerintah melalui Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah menuaikan penolakan.

Isu tersebut digulirkan Wamen Fahri dengan alasan agar semakin banyak orang yang tinggal dirumah vertikal (vertical house) seperti apartemen hingga rumah susun (rusun). Menurutnya, rumah tapak tidak cocok untuk dibangun di perkotaan.

Ikatan Wajib Pajak Indonesi (IWPI) menyatakan keberatannya dan penolakan tegas terhadap wacana tersebut. Menurut Ketua Umum IWPI Rinto Setiyawan, rumah tapak bukanlah objek spekulatif melainkan kebutuhan dasar warga negara. Ia mengingatkan bahwa kebijakan pajak seharusnya disusun secara adil, transparan dan bebas dari pengaruh kepentingan bisnis maupun jabatan ganda pejabatn negara.

Selain itu, “Kami mempertayakan apakah ini murni kebijakan untuk penataan ruang atau justru arahan tersembunyi untuk mengarahkan pasar ke pembiayaan BTN,” kata Rinti dalam keterangannya, Minggu (8/6). Mengingat, Fahri merupakan Komisaris di Bank Tabungan Negara (BTN), bank milik negara yang aktif mendanai proyek rumah susun dah apartmen.

Untuk itu, IWPI menyampaikan tiga tuntutan utama. Mulai dari meminta pemerintah mehentikan seluruh wacana kenaikan pajak rumah tapak tanpa kajian publik dan proses partisipatif yang transparan, melakukan audit publik dan yudisial terhadap peran BTN dalam perumusan kebijakan hunian dan perpajakan, hingga meminta presiden untuk mengevaluasi rangkap jabatan pejabat publik yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam merancang kebijakan pajak baru. Berdasarkan teori ekonomi Kurva Laffer, bahwa ketika tarif pajak ada di titik ekstrem 0% atau 100% negara tidak akan mendapatkan penerimaan pajak paling tinggi.

Oleh karena itu, usulan kenaikan tarif pajak biasanya akan disimulasikan dengan potensi penerimaan pajak berdasarkan Kurva Laffer. Selain itu,”Semakin tinggi tarif pajak, semakin berat beban uang harus ditanggung oleh masyarakat,”katanya.

Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Bambang Ekajaya juga keberatan atas wacana tersebut. Bambang mengatakan backlog perumahan yang masih tinggi yakni mencapai 15 juta unit menurut data Badan Standardisasi Nasional (BSN) per 2024. Alhasil, beban tambahan pajak justru bisa perburuk situasi.

“Rumah tapak nonsubsidi jiga sedang sulit (penjualannya) sementara daya beli masyarakat menurun”, kata Bambang kemarin.

Sumber : Harian Kontan

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only